MK Tangani 277 Perkara Sepanjang 2021: UU Pemilu dan Cipta Kerja Paling Banyak Digugat, Diuji 9 Kali
Mahkamah Konstitusi mencatat ada 121 perkara pengujian undang-undang pada 2021, yang paling sering diperkarakan UU Pemilu dan UU Cipta Kerja
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi undang-undang (UU) yang paling banyak digugat sepanjang tahun 2021.
Mahkamah Konstitusi (MK) mencatat ada 121 perkara pengujian undang-undang pada 2021.
Dan dari 48 undang-undang yang digugat, UU Pemilu dan UU Cipta Kerja menjadi UU yang paling sering diperkarakan.
”Pertama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja (UU Ciptaker) yang diuji masing-masing sebanyak sembilan kali," kata Ketua MK Anwar Usman pada Sidang Pleno Khusus Laporan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2021, Kamis (10/2).
Baca juga: Presiden: Putusan MK Tak Cukup Hanya Kepastian Hukum, Tapi Juga Harus Penuhi Rasa Keadilan
Baca juga: 14 Tahun Jabar Tempati Posisi Teratas Pelanggaran Kebebasan Beragama, Aceh Keluar dari 10 Besar
Baca juga: Tak Terima Jabar Disebut Provinsi Intoleran, Wagub Uu: Itu Tidak Benar, Mana Datanya
Kedua, kata Anwar, pengujian terhadap Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yang diuji empat kali.
Berikutnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang masing-masing diuji sebanyak tiga kali.
Anwar mengatakan sepanjang 2021 total gugatan yang ditangani MK mencapai 277 perkara.
Sebagian besar gugatan sudah diputus, yakni sebanyak 253 perkara.
Untuk mengadili 277 perkara itu MK menggelar sebanyak 924 sidang yang terdiri dari 471 sidang panel, dan 453 sidang pleno.
Pada saat yang sama Anwar menegaskan bahwa MK tak hanya menangani perkara pengujian undang-undang, tapi juga menangani tiga perkara sengketa kewenangan lembaga negara dan 153 perkara pemilihan kepala daerah.
"Dari 121 perkara, MK telah memutus sebanyak 99 perkara, dengan jumlah ini artinya, MK telah menyelesaikan sejumlah 81,82 persen dari keseluruhan perkara di tahun 2021 dan 22 perkara atau setara dengan 18,8 persen masih dalam proses pemeriksaan," kata Anwar.
Ia mengatakan, rata-rata waktu penyelesaian perkara PUU dan SKLN berdasarkan jangka waktu penyelesaian pada 2021 adalah 2,97 bulan per perkara.
Namun, yang perlu menjadi catatan adalah pada Januari-April 2021, MK fokus menyelesaikan perkara Pilkada yang waktu penyelesaiannya dibatasi yaitu 45 hari kerja, sejak permohonan diregistrasi.
Karena itu, persidangan perkara PUU dan SKLN disesuaikan dengan penyelesaian perkara PHPKada.
Hal ini mengacu ketentuan MK memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian undang-undang, setelah selesai memutus perkara perselisihan hasil pilkada serentak, yaitu pada bulan Mei hingga Desember 2021 atau dalam kurun waktu 8 bulan.
Sementara itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga hadir dalam Sidang Pleno Khusus Laporan MK itu mengungkapkan peran Indonesia sebagai negara hukum wajib menegakkan kepentingan masyarakat bersama.
Namun, dalam praktiknya, keputusan pemerintah kadang kala harus berseberangan dengan putusan MK sebagai lembaga pengawal konstitusi. Meski demikian, Jokowi menegaskan pihaknya selalu menerima dan melaksanakan putusan yang dikeluarkan MK.
"Sebagai negara hukum kita harus bersama-sama menegakkan hukum, menegakkan keadilan untuk kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa. Memang pemerintah tidak selamanya sependapat dengan pandangan MK dalam putusan-putusannya. Tetapi pemerintah selalu menerima, selalu menghormati, dan melaksanakan putusan-putusan MK," ucap Jokowi.
Jokowi menjelaskan, pemerintah pun wajib mematuhi keputusan MK yang bersifat final dan mengikat.
"Karena demikianlah yang diatur oleh Undang-undang Dasar 1945, yakni keputusan MK bersifat final dan mengikat. Pemerintah yakin bahwa kehidupan bernegara kita akan tertata dengan baik jika diselenggarakan berdasar konstitusi," ujar dia.
Jokowi juga menjelaskan bahwa dalam dalam situasi yang serba tak pasti selama pandemi Covid-19 pemerintah tidak pernah mengambil kebijakan yang menabrak konstitusi.
Menurut Jokowi, tidak pernah terlintas dalam pikiran pemerintah sedikit pun bahwa dengan mengatasnamakan pandemi Covid-19 pemerintah dengan sengaja menempuh langkah-langkah dan cara cara bikin inkonstitusional, menabrak prosedur, dan nilai-nilai demokrasi konstitusional.
Baca juga: Rekor Tertinggi di Kota Bekasi, 3.019 Kasus Baru Dalam Sehari, Ada 7 Kasus Kematian Termasuk Balita
Baca juga: 1.140 Warga Sunter Agung dan 55 Warga di Pondok Bambu Tertular Covid-19, PMI Disinfektan Permukiman
Baca juga: Ramai Kabar Vaksin Anak Berbayar Rp 150 Ribu per Kelas, Dinkes Kabupaten Bogor Beri Penjelasan
Jokowi menekankan, langkah cepat dan responsif jelas dibutuhkan selama pandemi demi keselamatan banyak nyawa. Namun, langkah yang diambil selalu sesuai aturan yang berlaku.
"Inilah tantangan dan sekaligus ujian nyata dalam praktik berkonstitusi. Situasi krisis telah memaksa pemerintah mengambil respons yang cepat dan tepat, menghadirkan cara-cara yang lebih fleksibel, dan lebih responsif dengan menempatkan keselamatan rakyat menjadi prioritas utama," ucap Jokowi.
Jokowi pun berharap ke depan MK dapat terus membuat putusan-putusan yang memberi jalan keluar terhadap masalah bernegara Indonesia dalam menegakkan konstitusi.
“Dan terus membangun keseimbangan antara kepastian, keadilan, dan kemanfaatan,” tuturnya.(tribun network/git/fik/ham/dod)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.