Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Eks Menlu Minta Pemerintah Sosialisasikan 3 Perjanjian RI – Singapura di Bintan, Bukan Hanya FIR

Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangani tiga perjanjian kerja sama strategis bidang politik, hukum dan pertahanan keamanan.

Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Endra Kurniawan
zoom-in Eks Menlu Minta Pemerintah Sosialisasikan 3 Perjanjian RI – Singapura di Bintan, Bukan Hanya FIR
dok. Kemenhub
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di penandatangan perundingan FIR antara Pemerintah Indonesia dan Singapura disaksikan Presiden Jokowi dan PM Singapura Lee Hsien Loong. 

Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangani tiga perjanjian kerja sama strategis bidang politik, hukum dan pertahanan keamanan dalam pertemuan Leaders’ Retreat di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa, 25 Januari 2022 lalu.

Perjanjian tersebut antara lain adalah, persetujuan tentang penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia - Singapura (Flight Information Region/FIR); perjanjian tentang Ekstradisi Buronan (Extradition Treaty); dan Pernyataan Bersama (Joint Statement) Menteri pertahanan RI dan Singapura tentang kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian pertahanan 2007 (joint statement MINDEF DCA).

Menteri Luar Negeri (2001-2009), Noer Hassan Wirajuda meminta pemerintah mulai mensosialisasikan secara lebih utuh 3 perjanjian tersebut.

Hal ini melihat pentingnya 3 dokumen yang disepakati dan ditandatangani.

Baca juga: Perjanjian FIR Perkuat Kedaulatan Indonesia dan Dorong Kepercayaan Internasional

“Sebaiknya Pemerintah selekasnya mulai mensosialisasikan secara lebih utuh, bukan hanya soal FIR, tapi juga soal perjanjian ekstradisi, joint statement tentang pemberlakuan DCA,” kata Hasan di diskusi Forum Guru Besar dan Doktor, Insan Cita terkait FIR RI – Singapura, Minggu (13/2/2022).

Sebagai analis, ia menilai hal ini diperlukan untuk memberikan masukan kepada pemerintah.

BERITA REKOMENDASI

Hasan menyampaikan apresiasi dan penghargaan kepada pemerintah yang telah berhasil menyelesaikan pending masalah yang sudah lama ini.

Sebagaimana diketahui, Indonesia telah berulang kali menyatakan keinginannya untuk mengambil alih kendali atas FIR di atas Kepulauan Riau, yang telah dikelola oleh Singapura sejak 1946.

Dengan menegaskan wilayah udara Indonesia sepenuhnya sesuai dengan konsepsi Indonesia sebagai negara kepulauan, menurutnya ini adalah sebuah prestasi.

Namun hal yang disebut prestasi tersebut juga tidak boleh mencegah rakyat untuk mengkaji secara kritis tentang apa saja manfaat yang diperoleh dari hasil perundingan.

Baca juga: Respons Menhub Budi Karya Sumadi Sikapi Pro Kontra Soal Perjanjian FIR Dengan Singapura

“Rakyat perlu mengkaji secara kritis tentang apa sih yang kita peroleh, atau apa yang tidak kita peroleh dan atas biaya apa, atau dengan harga berapa yang kita bayar,” ujarnya.

Perjanjian FIR, ekstradisi, dan DCA jika dikaitkan ketiganya dalam menghitung keuntungan dan kerugian, maka tidak hanya cukup menilai dari sisi FIR saja.

Hasan mengatakan perjanjian FIR saja ada beberapa hal yang harus dijelaskan pemerintah.

Misalnya dalam hal realignment FIR mengapa Indonesia memberikan wilayah yang luas kepada Singapura untuk terus mengelola penerbangan dari ketinggian 0 – 37.000 kaki.

Hasan juga mengkritisi DCA yang dalam pasal 51 UNCLOS, disebutkan pemerintah bahwa Singapura berhak melakukan pelatihan di perairan Natuna.

“Menurut bacaan saya tidak begitu. Lagi pula kalau Singapura mengklaim itu sebagai haknya untuk berlatih yang katanya dijamin oleh pasal 51, biarlah Singapura yang membuktikan klaimnya. Karena sesuai prinsip hukum, siapa yang mengklaim dialah yang kewajiban membuktikan. Bukan kita yang sibuk mencarikan pembenarannya,” kata Hasan.

Terkait joint statement antara Menteri Pertahanan RI – Singapura, Hasan membeberkan kalau DCA tahun 2007 tentang Natuna ada cacatnya.

Baca juga: Perjanjian FIR Berpotensi Tabrak Undang-Undang Penerbangan, Ini Penjelasan Kemenhub

DCA 2007 memuat, izin memberikan wilayah daratan Riau, perairan Riau dan sebagian perairan Natuna untuk Singapura melakukan pelatihan penembakan udara.

Hasan menjelaskan ada bagian tentang Riau darat dan Riau Lautan memang ada implementing arrangementnya (penerapan pengaturan), dan itu kesepakatan antara RI – Singapura.

Sedangkan berkaitan dengan Natuna tidak ada implementing arrangement-nya.

Belum lagi terkait perjanjian ekstradisi, yang menurutnya dengan dibekukannya hasil perundingan tentang ekstradisi, membawa konsekuensi dibekukannya perjanjian DCA 2007.

“Mengenal perjanjian ekstradisi dan DCA 2007, Singapura secara sepihak telah membekukan perjanjian ekstradisi. Uniknya pembekuan itu tidak dilakukan secara resmi (lewat surat atau nota diplomatik), tapi lewat pertemuan informal di Jakarta. Bukan dengan Menlu, tapi antara pejabat tinggi Singapura dan Menhan Juwono Sudarsono,” ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas