Fakta-fakta Permenaker Soal JHT: Dikritik Puan Padahal Mengacu UU yang Diteken Megawati
Berikut fakta-fakta soal JHT di mana Puan mengkritiknya tetapi sesuai UU yang diteken Megawati. Ditambah pernah diwujudkan Jokowi lewat PP.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) merilis Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Dalam aturan terbaru tersebut, terdapat pasal yang menuai kontroversi yaitu Pasal 3 dengan bunyi "Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a diberikan kepada Peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun."
Apabila berkaca pada Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 yang digantikan Permenaker terbaru, pemberian JHT bisa diberikan setelah satu bulan mengundurkan diri, terkena PHK, atau tidak lagi menjad WNI.
Akibatnya aturan terbaru ini menimbulkan kritik.
Baca juga: Ketua DPR Puan Maharani: Dana JHT Hak Pekerja, Bukan Uang Dari Pemerintah
Baca juga: Said Iqbal Pimpin Unjuk Rasa Buruh di Kantor Kemnaker, Tuntut Aturan JHT di Permenaker Baru Dicabut
Salah satu yang mengkritik Permenaker terbaru ini adalah Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Dikutip dari Kompas.com, Puan meminta Kemenaker untuk meninjau ulang tata pencairan JHT bagi pekerja atau buruh.
"Perlu diingat, JHT bukanlah dana dari pemerintah, melainkan hak pekerja pribadi karena berasal dari kumpulan potongan gaji teman-teman pekerja, termasuk buruh," ujar Puan, Rabu (16/2/2022).
Puan juga mengkritik munculnya Permenaker yang menurutnya tidak dalam waktu tepat karena Indonesia masih dalam kondisi pandemi.
"Kebijakan itu sesuai dengan peruntukan JHT. Namun, kurang sosialisasi dan tidak sensitif terhadap keadaan masyarakat, khususnya para pekerja."
"Banyak pekerja yang mengharapkan dana tersebut sebagai modal usaha, atau mungkin untuk bertahan hidup dari beratnya kondisi ekonomi saat ini. Sekali lagi, JHT adalah hak pekerja," tegasnya.
Sesuai UU SJSN Buatan Megawati
Apabila ditarik ke belakang, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 adalah implementasi dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
UU itu ditandatangani oleh Megawati Soekarnoputri pada 19 Oktober 2004 saat menjabat menjabat Presiden RI.
Menilik dalam pasal-pasal pada UU tersebut, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 sesuai dengan Pasal 35 dan 37 UU SJSN junto PP Nomor 46 tahun 2015.
Khususnya pada Pasal 37 yang berisi JHT baru dapat dibayarkan pada beberapa kondisi dan salah satunya adalah memasuki usia pensiun.
Baca juga: KSPI Demo Desak Ida Fauziyah Cabut Permenaker Soal JHT, Ini Rangkaian Aksinya
Adapun bunyi dari pasal 37 UU Nomor 40 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
“Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.”
Kemudian pada Pasal 37 ayat 3, terdapat penjelasan JHT dapat dibayarkan sebelum pekerja memasuki usia pensiun.
Hanya saja diberikan sebagian saja dan terdapat syarat pekerja harus sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan minimal 10 tahun.
Sementara aturan lain yang terdapat dalam UU Nomor 40 tahun 2004 adalah ketika pekerja meninggal dunia maka dapat diwariskan kepada ahli waris yang sah dan berhak untuk menerima JHT.
Pernah Diwujudkan Jokowi Lewat PP
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga pernah membuat aturan mengenai tata cara pembayaran JHT saat menjabat pada periode pertama.
Tata cara tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 dan ditandatangani pada 29 Juni 2015.
PP ini menjadi implementasi dari UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pada pasal 22 ayat 1 tertulis, pekerja dapat menerima JHT pada usia 56 tahun.
“Manfaat JHT adalah berupa uang tunai yang dibayarkan apabila Peserta berusia 56 (lima pulih enam) tahun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap,” demikian isi pasal tersebut.
JHT juga dapat dibayarkan tanpa harus keluar dari peserta BPJS Ketenagakerjaan sebelum masa pensiun tetapi hanya sebesar 10 persen dari saldo untuk persiapan pensiun.
Sementara peruntukkannya untuk pembiayaan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) rumah pertama.
Namun akhirnya PP ini direvisi dan muncullah PP Nomor 60/2015.
Dikutip dari Kompas.com, munculnya PP Nomor 60/2015 karena adanya aspirasi dari masyarakat terkait pencairan JHT.
Hal ini diungkapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan saat itu, M Hanif Dhakiri.
Baca juga: Tafsir Permenaker 19 Tahun 2015: Korban PHK Tak Masuk Kategori Peserta BPJS, JHT Berhak Diambil
"Perubahan peraturan ini dilakukan untuk mengakomodir kondisi ketenagakerjaan nasional dan aspirasi yang berkembang di masyarakat, khususnya yang terkait dengan pengaturan manfaat Jaminan Hari Tua bagi pekerja atau buruh," jelas Hanif.
Hanif mengatakan hal substansial sehingga merevisi PP yang lama adalah soal cara pencairan di mana pada PP sebelumnya, pekerja tidak bisa mencairkan JHT ketika mengalami PHK.
Sementara pada PP yang baru saat itu, pekerja yang di-PHK atau berhenti bekerja akan dapat mencairkan JHT satu bulan setelahnya.
"Itu substansi paling mendasar dari PP 60 Tahun 2015 yang merupakan PP revisi PP 46 Tahun 2015," ujar Hanif.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Muhammad Idris/Bayu Galih)
Artikel lain terkait Kontroversi JHT