Soal Aturan Pengeras Suara di Masjid dan Musala: Didukung NU dan Muhammadiyah, Dikritik PKS
Munculnya aturan mengenai penggunaan pengeras suara di masjid dan musala menimbulkan pro dan kontra. Didukung NU dan Muhammadiyah tetapi dikritik PKS.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
Kemudian, dukungan dinyatakan oleh MUI terkait aturan pengeras suara di masjid dan musala ini.
Hal tersebut dikarenakan aturan sudah sesuai dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tahun 2021.
“Saya mengapresiasi atas terbitnya SE itu sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemaslahatan dalam penyelenggaran aktivitas ibadah,” ungkap Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam.
“Intinya, dalam pelaksanaan ibadah, ada jenis ibadah yang memiliki dimensi syiar sehingga membutuhkan media untuk penyiaran, termasuk adzan. Dalam pelaksanannya, perlu diatur agar berdampak baik bagi masyarakat yaitu jamaah dapat mendengarkan syiar, namun tidak menimbulkan mafsadah,” ujarnya, dikutip dari laman MUI.
Dikritik PKS
Namun menurut anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Bukhori Yusuf, aturan tersebut secara substansi mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat setempat seperti di wilayah pedesaan.
“Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia. Bagi masyarakat tradisional yang komunal, mereka relatif memiliki penerimaan yagn lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid,” kata Bukhori, Selasa (22/2/2202), dikutip Tribunnews.
“Selain alasan bahwa di dalam budaya komunal setiap laku individiu terkonstruksi secara alamiah untuk mengutamakan kepentingan umum, tradisi tersebut juga tidak menemukan masalah ketika diterapkan di lingkungan yang homogen seperti pedesaan,” tambahnya.
Bukhori mengatakan, dalam konstruksi kebudayaan masyarakat di pedesaan, bunyi keras tersebut telah menjelma sebagai ‘soundscape’ atau bunyi lingkungan.
Baca juga: Muhammadiyah Minta Semua Pihak Taati Pedoman Kemenag Soal Pengeras Suara di Masjid
Sehingga apabila frekuensi ataupun kapasitas dari bunyi tersebut berkurang, melemah, bahkan menghilang, maka dapat berpengaruh terhadap suasana kebatinan penduduk yang biasa terpapar oleh lantunan suara yang berasal dari masjid/musala, walaupun dilakukan secara bersahut-sahutan dengan volume yang keras.
"Seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka,” ujarnya.
Namun demikian, Bukhori mengamini bahwa fenomena yang dianggap lazim di pedesaan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima oleh penduduk di lingkungan perkotaan yang hidup dalam suasana heterogen, individualistik, serta bising.
Sehingga ketenangan menjadi hal yang didambakan di tengah hiruk pikuk kehidupan metropolitan.
“Dalam kondisi itu, pengaturan pengeras suara pada tingkat yang proporsional menjadi hal yang perlu dilakukan. Selain demi menjaga harmoni sosial di lingkungan yang heterogen, juga penting untuk menjaga simpati masyarakat atas kegiatan keagamaan yang dilakukan," tuturnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.