Tolak Pemilu Serentak, Partai Gelora Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi
Partai Gelora Indonesia mengajukan uji materi Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 167 Ayat (3)
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Gelombang Rakyat Indonesia atau bisa disebut Partai Gelora Indonesia mengajukan uji materi Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) yang mengatur keserentakan pemilu.
Mereka menolak Pemilu 2024 tidak digelar secara serentak.
Gugatan tersebut diajukan pada Kamis (24/2/2022) dengan Nomor: 27/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022, dan telah tercatat dalam situs resmi MK.
Uji materi diajukan Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta bersama Sekretaris Jenderal Mahfuz Sidik dan Wakil Ketua Umum Fahri Hamzah.
Uji materi Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ke MK tersebut dipimpin Amin Fahrudin sebagai Ketua Tim Pengacara Partai Gelora Indonesia dengan anggota antara lain Aryo Tyasmoro, Slamet, Andi Saputro, Guntur F Prisanto dan Ahmad Hafiz.
"Karena ada preseden buruk pada Pemilu 2019 adanya kematian hampir sembilan ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)," ujar Ketua Bidang Hukum dan HAM DPN Partai Gelora Indonesia Amin Fahrudin dalam keterangannya, Sabtu (26/2/2022).
Partai Gelora menilai hasil pemilu serentak yang diselenggarakan pada 2019 menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi.
Baca juga: Yusril Pertanyakan Dasar Konstitusional Usulan Penundaan Pemilu 2024
Ancaman tersebut dirasakan saat ini yaitu mekanisme check and balance tidak berjalan dengan baik seperti kekuasaan eksekutif begitu kuat mencengkeram DPR sebagai lembaga legislatif.
"Hal itu terjadi antara lain dalam pengesahan RUU Cipta Kerja pada November 2020, yang telah mengubah begitu banyak aspek dunia usaha, ketenagakerjaan, pendidikan dan sebagainya," katanya.
Karena itu menurut Partai Gelora, akar persoalan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 secara serentak, yang juga akan diterapkan pada Pemilu 2024, telah menciptakan berbagai persoalan.
Amin menerangkan, pemilu serentak menyebabkan pemilih lebih fokus pada pemilihan presiden, itu bisa dilihat pada perbandingan suara tidak sah dalam pelaksanaan Pemilu 2019 yaitu suara tidak sah untuk Pilpres mencapai 2,38 persen (3.754.905 suara).
Sementara itu menurut dia, suara tidak sah untuk pemilihan anggota DPR mencapai 11,12 persen (29.710.175 suara) dan suara tidak sah untuk pemilihan anggota DPD mencapai 19,02 persen (17.503.393 suara).
"Pemilu serentak memecah perhatian pemilih yaitu perhatian lebih tertuju pada pilpres dibandingkan pemilihan anggota DPR maupun DPD. Pemilih datang pada bilik suara yang sama namun perbandingan suara tidak sah sangat jauh antara pilpres dan pileg," terangnya.
Amin menilai kondisi tersebut merugikan bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia karena anggota legislatif yang terpilih bisa jadi adalah residu dari perhatian masyarakat yang tersedot pada pilpres.
Hal itu menurut dia berdampak pada saat ini yaitu DPR tidak mampu mengimbangi eksekutif dalam proses jalannya pemerintahan.
"Pemilu serentak juga menyebabkan hilangnya nyawa petugas PPS dan PPK yaitu sebanyak 894 petugas PPS meninggal dunia dan 5.175 orang petugas pemilu mengalami sakit berat dalam Pemilu serentak 2019," katanya.
Selain itu menurut dia, alasan keserentakan pemilu untuk efisiensi anggaran juga tidak terbukti karena faktanya dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 justru terdapat pembengkakan biaya pemilu.
Amin berharap dukungan penuh dari masyarakat agar upaya melakukan reformasi sistem politik demi menjaga keberlangsungan demokrasi, dapat memberikan hasil yang baik dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.