Batal Nikah Karena Beda Agama, Pasangan Ini Gugat UU Perkawinan ke MK
Ni Komang Tari Padmawati,= mengungkapkan kliennya merupakan seorang WNI beragama Katolik dengan calon pasangan seorang wanita beragama Islam.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - E Ramos Petege mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena batal nikah dengan calon pasangannya yang berbeda agama.
Kuasa hukum Ramos, Ni Komang Tari Padmawati, mengungkapkan kliennya merupakan seorang WNI beragama Katolik dengan calon pasangan seorang wanita beragama Islam.
Akan tetapi, kata dia, setelah menjalin hubungan selama tiga tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut harus dibatalkan.
Baca juga: Awkarin Kesal Diundang Podcast usai Gagal Nikah, Warganet Sentil Kontennya Bareng Salmafina Sunan
Ia mengatakan hal tersebut karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda sementara UU Perkawinan tidak memberikan ketegasan serta kejelasan pengaturan terhadap dua agama ataupun kepercayaan berbeda yang hendak melakukan perkawinan.
Sehingga, kata dia, kegagalan dari perkawinan tersebut juga terjadi karena ada intervensi antar golongan yang diakomodir negara melalui UU Perkawinan.
Hal tersebut disampaikannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 24/PUU-XX/2022 di MK yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu (16/3/2022).
"Oleh karenanya maka pemohon memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon pengujian Undang-Undang dalam perkara ini karena telah memenuhi ketentuan untuk menjadi pemohon sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Tari.
Ia melanjutkan, pengujian UU perkawinan sejatinya telah dilakukan beberapa kali khususnya pengujian terhadap ketentuan pasal 2 ayat 1.
Akan tetapi, kata dia, permohonan yang diajukan kliennya bukanlah perkara ini idem karena adanya penambahan batu uji pengujian pasal 2 ayat 1 terhadap UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Batu uji yang ditambahkan, kata dia, ketentuan pasal 29 ayat 1 sebagai pengaturan yang menegaskan serta menjadi dasar perlindungan oleh negara terhadap hak kebebasan beragama masyarakat Indonesia.
Kedua, lanjut dia, kerugian yang didalilkan oleh kliennya merupakan kerugian faktual yang sudah terjadi dan secara nyata mengakibatkan kerugian-kerugian materil di samping adanya kerugian konstitusional terhadap kliennya.
"Hal ini menyebabkan permohonan yang diajukan pemohon merupakan penjabaran konkret dari suatu kerugian konstitusional seseorang yang diakibatkan pengaturan pasal a quo dari sekian banyak kerugian konstitusional yang terjadi," kata Tari.
Dalam pengujian tersebut, kata Tari, pihaknya mendalilkan ketentuan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan telah mencederai hak konstitusionalitas kliennya yang diamanahkan oleh pasal 29 ayat 1 dan 2, 28 E ayat 1 dan 2, pasal 27 ayat 1, pasal 28 I ayat 1 dan 2, pasal 28 B ayat 1, dan pasal 28 D ayat 1 UUD 1945.
Ia mengungkapkan, salah satu alasan dari permohonan tersebut yakni sebagai negara yang berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa negara juga semestinya dapat nemisahkan sebagaimana dimaksud permasalahan agama dan negara.
Intervensi negara dalam urusan keagamaan, lanjut dia, hanyalah sebatas lingkup administrasi yang berkaitan dengan fasilitas, sarana, dan pra sarana dan bukan pada materi atau substansi agama tersebut.
Mengutip pernyataan Ir Soekarno, ia mengatakan, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi sehigga hendaknya menjadi tanggung jawab pribadi dan bukan negara atau pemerintah.
Ia mengatakan ketentuan pada pasal 2 ayat 1 khususnya frasa "hukum masing-masing agama dan kepercayaan", menimbulkan adanya multitafsir.
Tafsir pertama yakni perkawinan beda agama diperkenankan sepanjang mengikuti tata cara yang diatur salah satu hukum agama atau kepercayaan yang dianut oleh masing-masing calon pasangan atau melaksanakan perkawinan menurut kedua hukum agama atau kepercayaan yang dianut calon pasangan.
"Tafsiran kedua yakni perkawinan dilangsungkan harus dengan yang memiliki agama atau kepercayaan yang sama," kata Tari.
Kuasa hukum Ramos, Dixon Sanjaya, membacakan empat petitum yang dimohonkan kliennya.
Pertama, menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Kedua, menyatakan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak lagi relevan dalam mengakomodir kebutuhan penegakan hak asasi manusia masyarakat Indonesia seperti yang diamanahkan dalam UUD 1945 khususnya dalam hal kemerdekaan untuk memeluk agama, adanya jaminan terhadap kepastian hukum, kesetaraan dan kesamaan kedudukan di mata hukum dan pemerintahan, serta kewenangan individu untuk membentuk keluarga dan memiliki keturunan melalui perkawinan yang sah.
Ketiga, menyatakan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak dapat dan tidak memiliki pengaturan beda agama sehingga perlu menambahkan pengaturan sebagai berikut:
Pasal 2 ayat 1: perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Pasal 2 ayat 2: perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaannya dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan.
Pasal 2 ayat 3: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Keempat, memerintahkan pemuatan isi putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono," kata Dixon.