Isu Perpanjang Masa Jabatan Presiden Bisa Bawa Indonesia Bernasib Seperti Republik Guinea
pemerintah maupun para elite politik tak bermain dengan isu perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar meminta pemerintah maupun para elite politik tak bermain dengan isu perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu.
Sebab kata dia, tak ada negara penganut demokrasi yang bermain dengan isu masa jabatan presiden.
Terlebih berdasarkan pengalaman beberapa negara, perpanjangan masa jabatan presiden melalui perubahan konstitusi umumnya berakhir buruk.
Hal ini ia sampaikan dalam diskusi virtual bertajuk 'Demokrasi Konstitusional Dalam Ancaman: Menyikapi Rencana Penundaan Pemilu dan Amandemen Konstitusi', Rabu (16/3/2022).
"Karena rasanya tidak ada negara demokrasi yang gemar bermain dengan masa jabatan," kata Zainal.
Kata dia, negara yang punya pengalaman perpanjangan masa jabatan seperti Venezuela, Turki dan Rusia, serta beberapa negara Sub-Sahara Afrika.
Baca juga: Alasan Perpanjang Masa Jabatan Karena Presidennya Masih Disukai Rakyat, Mirip Era Soeharto
Mereka mendorong amandemen konstitusi guna merealisasikan skenario tersebut.
Namun menurutnya negara tersebut jauh dari menganut demokrasi.
Pasalnya Rusia dan Venezuela dapat digolongkan sebagai negara yang cenderung menganut konstitusi otoriter.
"Ini negara - negara yang jauh dari kesan demokrasi. Bahkan ujungnya itu bukan skenario yang baik," ucap dia.
Lanjut Zainal, jika Indonesia tetap melanjutkan atau serius merealisasikan wacana perpanjangan masa jabatan presiden maupun isu penundaan pemilu, maka bisa saja berujung seperti Republik Guinea di Afrika Barat.
Usai memperpanjang masa jabatan presidennya kala itu, Republik Guinea berujung dikudeta militer.
"Jadi bila bermain dengan masa jabatan, Indonesia bisa masuk ke skenario yang sangat tidak diinginkan," pungkas Zainal.