KPK Telusuri Aliran Uang dari Beberapa Perusahaan untuk Eks Walkot Banjar Herman Sutrisno
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri aliran uang yang diterima mantan Wali Kota Banjar Herman Sutrisno (HS) dari beberapa perusahaan.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri aliran uang yang diterima mantan Wali Kota Banjar Herman Sutrisno (HS) dari beberapa perusahaan.
Uang dimaksud diterima Herman karena memuluskan proses perizinan usaha di wilayah Kota Banjar.
Pendalaman materi ini didalami lewat pemeriksaan sejumlah saksi pada Selasa (29/3/2022) di kantor BPKP Provinsi Jawa Barat.
Mereka antara lain, Citra Reynantra, Direktur CV Citra Prima; Smamat Rahmat, PNS/ajudan Wali Kota; Ir. H. Yufizar, Dirut PT Brahmakerta Adiwira; Wahyu Utama S., Direktur CV Mungaran Cahaya; Erman Hendrawan, Dirut PT Sentra Karyatama Prima; dan Ir. Ahadiyat, Dirut PT Promix Prima Karya.
"Para saksi hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan dugaan aliran uang dari beberapa perusahaaan untuk tersangka HS karena mempermudah diterbitkannya proses perizinan usaha di wilayah Kota Banjar," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (29/3/2022).
Tim penyidik KPK harusnya juga memeriksa karyawan PT Artha Buana Mandiri, Abdul Muhyi.
Namun, kata Ali, Abdul tidak hadir.
"Tidak hadir dan dilakukan penjadwalan ulang," katanya.
KPK telah menetapkan Wali Kota Banjar periode 2003-2008 dan periode 2008-2013, Herman Sutrisno (HS); dan Direktur CV Prima, Rahmat Wardi (RW) sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek pekerjaan infrastruktur pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP) Kota Banjar tahun 2008-2013 dan dugaan penerimaan gratifikasi.
Baca juga: KPK Periksa Direktur Utama Telkomsel dalam Kasus Suap Bupati Penajam Paser Utara
Baca juga: KPK Periksa Elite PKB dan PAN, Telusuri Aliran Uang kepada Eks Wali Kota Banjar Herman Sutrisno
Dalam konstruksi perkara disebutkan, Rahmat sebagai salah satu pengusaha jasa konstruksi di Kota Banjar diduga memiliki kedekatan dengan Herman selaku Wali Kota Banjar periode 2008-2013.
Sebagai wujud kedekatan tersebut, diduga sejak awal telah ada peran aktif dari Herman di antaranya dengan memberikan kemudahan bagi Rahmat untuk mendapatkan izin usaha, jaminan lelang dan rekomendasi pinjaman bank, sehingga Rahmat bisa mendapatkan beberapa paket proyek pekerjaaan di Dinas PUPRPKP Kota Banjar.
Antara tahun 2012-2014, Rahmat dengan beberapa perusahaannya mengerjakan 15 paket proyek pekerjaan pada Dinas PUPRPKP Kota Banjar dengan total nilai proyek sebesar Rp23,7 miliar.
Dan sebagai bentuk komitmen atas kemudahan yang diberikan oleh Herman, maka Rahmat memberikan fee proyek antara 5 persen sampai dengan 8 persen dari nilai proyek untuk Herman.
Pada sekitar Juli 2013, Herman diduga memerintahkan Rahmat melakukan peminjaman uang ke salah satu bank di Kota Banjar dengan nilai yang disetujui sekitar Rp4,3 miliar yang kemudian digunakan untuk keperluan pribadi Herman dan keluarganya. Sedangkan untuk cicilan pelunasannya tetap menjadi kewajiban Rahmat.
Rahmat juga diduga beberapa kali memberikan fasilitas pada Herman dan keluarganya, di antaranya tanah dan bangunan untuk pendirian SPPBE (Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji) di Kota Banjar.
Selain itu, Rahmat juga diduga memberikan sejumlah uang untuk biaya operasional rumah sakit swasta yang didirikan oleh Herman.
Selama masa kepemimpinan Herman sebagai Wali Kota Banjar dari tahun 2008-2013, diduga pula dia banyak menerima pemberian sejumlah uang dalam bentuk gratifikasi dari para kontraktor dan pihak lainnya yang mengerjakan proyek di Pemerintahan Kota Banjar.
Saat ini tim penyidik KPK masih terus melakukan penghitungan jumlah nilai penerimaan gratifikasi dimaksud.
Atas perbuatannya, Rahmat Wardi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (a) atau huruf (b) atau Pasal 13 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara Herman Sutrisno disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau huruf (b) atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.