Tentang Potensi Beda Awal Ramadan 1443 H, Ada yang Mulai Puasa 2 April dan 3 April, Ini Kata Kemenag
Ada kemungkinan terjadi perbedaan Awal Ramadan 1443 H karena metode penetapan yang digunakan tidak sama.
Editor: Hasanudin Aco
Tentang Potensi Beda Awal Ramadan 1443 H, Kemenag Berharap Semua Pihak Tunggu Hasil Sidang Isbat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada kemungkinan terjadi perbedaan Awal Ramadan 1443 H karena metode penetapan yang digunakan tidak sama.
Ada yang akan mengawali Ramadan pada 2 April 2022 dan kemungkinan ada pula yang mulai puasa pada 3 April 2022.
Terkait hal itu, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag Adib mengajak masyarakat untuk menunggu hasil Sidang Isbat.
“Kita tunggu hasil Sidang Isbat,” tegas Adib seperti dikutip Tribunnews.com dari situs Kemenag, Jumat (1/4/2022).
Menurut Adib, Sidang Isbat awal Ramadan 1443 H akan digelar hari ini 1 April 2022, bertepatan dengan 29 Syakban 1443 H.
Baca juga: Kemenag: Hasil Sidang Isbat akan Tetapkan Awal Puasa Ramadan 1443 H Jatuh pada 2 atau 3 April 2022
Sidang Isbat dihelat oleh Kementerian Agama, sebagaimana amanah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 2 tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Ada empat hal yang diatur dalam fatwa tersebut.
Pertama, penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional. Kedua, seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah.
Ketiga, dalam menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan instansi terkait. Keempat, hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla'nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Sebagaimana yang selama ini berjalan, lanjut Adib, Sidang Isbat dihadiri oleh MUI, perwakilan ormas Islam, DPR, sejumlah duta besar negara sahabat, serta kementerian dan lembaga terkait.
Kementerian Agama berperan sebagai fasilitator bagi para ulama, ahli, dan cendekiawan untuk bermusyawarah menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah. Forum ini sekaligus menjadi sarana untuk berdiskusi.
“Sidang Isbat selama ini menjadi sarana bertukar pandangan para ulama, cendekiawan, maupun para ahli terkait penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah. Hasil sidang isbat ini akan segera diinformasikan kepada masyarakat agar bisa dijadikan sebagai pedoman," jelasnya
Terkait perbedaan, Adib mengaku bahwa potensi itu ada saja. Sebelumnya, pernah juga terjadi perbedaan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah.
Hal itu bisa terjadi karena adanya perbedaan metode penetapan. Ada yang menggunakan metode Hisab Wujudul Hilal, ada yang menggunakan Imkanur-Rukyat.
“Jika pun ada beda awal Ramadan, sudah semestinya kita mengedepankan sikap saling menghormati agar tidak mengurangi kekhusyu’an dalam menjalani ibadah puasa,” pesannya.
Kasubdit Hisab Rukyat dan Syariah Kemenag, Ismail Fahmi menjelaskan, bahwa pada hari pelaksanaan rukyat atau pemantauan, ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia sudah di atas ufuk, berkisar antara 1 derajat 6,78 menit sampai dengan 2 derajat 10,02 menit.
Fakta ini yang menjadi dasar bagi mereka yang menggunakan metode Hisab Wujudul Hilal untuk menetapkan awal Ramadan bertepatan 2 April 2022.
Sementara Kemenag, sebagaimana fatwa MUI, menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah berdasarkan metode Hisab dan Rukyat.
Hasil perhitungan astronomi atau Hisab, dijadikan sebagai informasi awal yang kemudian dikonfirmasi melalui metode Rukyat (pemantauan di lapangan).
“Posisi hilal pada kisaran 1 sampai 2 derajat ini cukup krusial dalam konteks rukyat atau pemantauan. Apalagi, kriteria baru yang disepakati MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), awal bulan masuk jika posisi hilal saat matahari terbenam sudah 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Dalam konteks inilah ada potensi perbedaan awal Ramadan,” jelasnya.
“Sidang Isbat akan menunggu laporan hasil pemantauan hilal, apakah ada yang melihat ataukah tidak. Selanjutnya, peserta sidang akan bermusyawah untuk menentukan awal Ramadan. Jadi, mari tunggu pengumuman hasil dari Sidang Isbat,” tandasnya.
Keputusan PBNU
Sementara itu, Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF-PBNU) mengeluarkan Surat Keputusan LF PBNU No. 001/SK/LF–PBNU/III/2022 tentang Kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama.
Dalam lampiran surat itu, ditetapkan bahwa ketinggian hilal awal Ramadan 1443 H minimal 3 derajat.
“Tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi hilal minimal 6,4 derajat,” demikian isi surat keputusan itu dikutip dari laman resmi NU, Jumat (1/4/2022).
Ketinggian hilal minimal 3 derajat pada kriteria imkan rukyah NU ini menjadi dasar pembentukan almanak Nahdlatul Ulama dan dasar penerimaan laporan rukyah hilal dalam penentuan awal bulan Hijriyah pada kalender NU.
Lembaga Bahsul Masail NU, Alhafiz Kurniawan menjelaskan bahwa 3 derajat itu menjadi minimal ketinggian hilal potensi terlihat.
"Artinya kalau hilal terlihat di bawah itu, laporan para perukyat di lapangan ditolak," kata Hafiz.
Adapun putusan kriteria ini, diberlakukan sejak awal Ramadan 1443 H. LF PBNU menyelenggarakan aktivitas pemantauan hilal Ramadan 1443 H pada Jumat (1/4) atau bertepatan dengan 29 Syakban 1443 H di berbagai titik di Indonesia.
LF PBNU meminta seluruh perukyat untuk dapat melaksanakan aktivitas rukyatul hilal awal Ramadan 1443 H sesuai dengan kriteria imkan rukyah yang telah diputuskan.
“Apabila ternyata dalam kriteria imkan rukyah Nahdlatul Ulama yang telah ditetapkan ini terjadi kekeliruan, maka pengurus harian Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akan meninjau ulang sebagaimana mestinya,” demikian bunyi surat keputusan tersebut.
Terpisah, Wakil Ketua Umum PBNU bidang keagamaan KH Zulfa Mustofa mengatakan, surat keputusan LF PBNU tentang kriteria imkan rukyah sudah final.
Secara organisasi surat keputusan tersebut harus dipatuhi oleh pengurus NU di wilayah, cabang, cabang istimewa, wakil cabang, hingga anak ranting.
Kriteria imkan rukyah pada surat keputusan Lembaga Falakiyah PBNU didasarkan pada putusan organisasi melalui forum muktamar.
Ketinggian hilal minimal 3 derajat merupakan persoalan falakiyah, bukan fiqhiyyah, sehingga PBNU menyerahkan kepada LF PBNU sebagai lembaga yang otoritatif di bidang itu.
“Angka 3 derajat diambil dari jumhur ahli falak meski ada ahli falak yang menyebut 2 derajat. Secara organisatoris putusan LF PBNU mengikat. Tetapi tentu saja kita menghormati pilihan berbeda hasil rukyah karena perbedaan derajat minimal ketinggian hilal,” kata Kiai Zulfa.
Ia menambahkan, kepada Muhammadiyah yang murni menggunakan metode hisab saja kita sangat menghormati, apalagi perbedaan dengan sesama pengguna metode rukyah.
“Sekali lagi ini soal organisatoris,” kata Kiai Zulfa.
Sumber: Kompas.TV/Tribunnews.com
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.