Penjelasan Kemlu RI Terkait SPMH Isu Kekerasan Papua dan Papua Barat
Kementerian Luar Negeri memberikan penjelasan terkait Special Procedures Mandate Holders (SPMH) saat melakukan Rapat Kerja dengan Komisi 1 DPR RI, Rab
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Luar Negeri memberikan penjelasan terkait Special Procedures Mandate Holders (SPMH) saat melakukan Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI, Rabu (6/4/2022).
Hal ini berkaitan mengenai tuduhan dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, penyiksaan, dan pemindahan paksa di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Wakil Tetap Republik Indonesia untuk PBB di Jenewa, Duta Besar Febrian A. Ruddyard mulanya menjelaskan, SPMH merupakan salah satu alat kelengkapan dewan HAM untuk memonitor perkembangan kemajuan HAM di berbagai negara yang menjadi anggota PBB.
Joint communication SPMH ini bukan merupakan pandangan PBB atau bukan merupakan temuan PBB serta agenda PBB.
Anggota SPMH pun bukan merupakan staf PBB dan tidak menerima gaji dari budget regular PBB.
“Joint communication SPMH ini bukan merupakan pandangan PBB atau bukan merupakan temuan PBB serta agenda PBB. Namun merupakan salah satu fungsi komunikasi Dewan HAM yang diberikan mandatnya kepada SPMH untuk meminta klarifikasi kepada negara terkait,” kata Febryan.
Ia mengakui ada beberapa isu yang menjadi perhatian SPMH di Indonesia. Dalam 2 tahun terakhir, isu HAM di Papua dan Papua Barat sempat menjadi pokok perhatian.
Namun isu itu tidak lagi mendominasi topik sebagai isu yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam beberapa bulan terakhir ini.
Baca juga: Merasa Ditelantarkan, Natalis dan Engel Kabur dari Kelompok OPM Papua Barat
“Sepanjang 2021 pemerintah menerima 11 komunikasi SPMH, 5 diantaranya terkait pelaksanaan ham di Papua,” ujarnya.
Watapri itu mengatakan joint communication SPMH mengenai isu Provinsi Papua dan Papua Barat diterima pada tanggal 22 Februari 2022.
Kemlu lewat PTRI Jenewa telah mengirimkan jawaban atas komunikasi tersebut.
Isinya antara lain ditegaskan, tidak ada tempat untuk pembunuhan ekstra yudisial, penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, penyiksaan, dan pemindahan paksa di Indonesia.
Ia juga menegaskan, bahwa Indonesia fokus pada pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
“PTRI Jenewa menjawab SOP untuk semua komunikasi SPMH, karena respon negara anggota penting untuk memberikan jawaban dan klarifikasi. Kemudian jika mereka tidak puas akan terus bertanya dan dijawab lagi. Ini dilakukan sampai mereka memiliki pemahaman yang sama dengan informasi yang kita sampaikan,” ujarnya.
Tujuan dari praktik ini untuk memberikan klarifikasi atas tuduhan yang disampaikan SPMH dengan data dukung yang relevan dan menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang peduli terhadap HAM.
Ia menyayangkan adanya siaran pers SPMH yang menyoroti Indonesia secara negatif, padahal setiap negara diberikan waktu selama 60 hari untuk menjawab surat tersebut.
“Seharusnya negara diberi waktu 6 hari untuk memberikan jawaban,” katanya.
“Inilah yang kadang-kadang merugikan, bukan hanya Indonesia tapi juga berbagai negara terhadap praktik-praktik yang tidak sesuai prosedur yang ada,” ujarnya.
Kedepannya PTRI akan melakukan interaksi dengan LSM dan SPMH untuk memberikan informasi sebelum mereka mendapatkan informasi dari luar pihak.
“Kita tidak ingin ada kekosongan sumber informasi, (sehingga) mereka dapat informasi dari pihak-pihak lain, yang kadang memiliki maksud yang berbeda,” ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.