Jokpro 2024 Dukung Sikap Presiden Jokowi Larang Menterinya Bicara Penundaan Pemilu
Sekretaris Jenderal Jokpro 2024 Timothy Ivan Triyono mendukung penuh sikap presiden Jokowi yang melarang menterinya bicara soal penundaan Pemilu.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil langkah tegas mengakhiri polemik di tengah masyarakat.
Jokowi dengan tegas melarang menteri dan pimpinan lembaga bicara soal wacana penundaan Pemilu 2024.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Jokpro 2024 Timothy Ivan Triyono mendukung penuh sikap presiden.
Ia mengatakan bahwa sikap tersebut selaras dengan apa yang disuarakan Jokpro 2024.
"Ya, kami Jokpro 2024 sepakat dan mendukung penuh sikap Presiden Jokowi yang meminta usul/wacana penundaan pemilu itu dihentikan. Karena memang pada dasarnya Jokpro juga tidak setuju dengan penundaan pemilu," kata Timothy dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (7/4/2022).
Baca juga: Jokowi Larang Jajarannya Bicara Penundaan Pemilu, PDIP Sentil Sejumlah Menteri
Menurut Timothy, amandemen konstitusi presiden 3 periode dengan perpanjangan masa jabatan presiden adalah hal yang berbeda.
Jokpro 2024 pun mendorong periodisasi jabatan presiden yang semula dua menjadi tiga periode melalui amandemen UUD 1945.
"Rasanya saya perlu menegaskan bahwa amandemen konstitusi presiden 3 periode dengan perpanjangan masa jabatan presiden itu sangat berbeda ya. Kalau perpanjangan masa jabatan presiden itu sama halnya dengan penundaan pemilu karena konsekuensi logis dari pemilu ditunda ya masa jabatan presiden harus diperpanjang," katanya.
"Kalau yang Jokpro dorong itu periodisasi jabatan presiden dalam Pasal 7 UUD 1945 diamandemen jadi 'dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk dua kali', hanya perlu ubah 1 kata saja," lanjut Timothy.
Timothy menegaskan wacana penundaan Pemilu 2024 dianggap tidak produktif.
Baca juga: Respons Airlangga hingga Luhut setelah Jokowi Larang Bicara soal Penundaan Pemilu
Ia membeberkan bahwa alasan pandemi untuk menunda pemilu dianggap tidak relevan, selain itu, dia mengatakan, penundaan pemilu tidak ada cantolan hukumnya.
"Kami dengan tegas mengatakan bahwa penundaan pemilu ini tidak jelas ya. Pertama, syarat-syarat untuk dilakukannya penundaan pemilu ini sangat tidak jelas," ujarnya.
Ia mengatakan alasan penundaan Pemilu 2024 karena kondisi Covid-19 tidak jelas.
Terlebih pandemi sekarang sudah mulai menjadi endemik dan Pilpres baru digelar 2 tahun lagi.
"Kan dapat dipastikan dalam 2 tahun ke depan, Covid ini dapat dikendalikan. Kedua, penundaan pemilu ini tidak ada cantolan atau dasar hukumnya. Lembaga apa yang berhak menunda pemilu?" kata Timothy.
Ia kembali mengingatkan, tujuan dari Jokpro 2024 mengusung Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024 untuk menghindari polarisasi ekstrem dan mendorong MPR RI untuk segera melakukan amandemen konstitusi mengenai periodisasi jabatan presiden yang semula 2 periode menjadi 3 periode.
"Jokpro 2024 sejak awal mengusung gagasan menyatukan Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024 untuk menghindari polarisasi ekstrem, khususnya terjadinya from voting to violence (tawuran nasional)."
"Memang, konsekuensi hukum logis dari memasangkan Jokowi-Prabowo di 2024 yaitu Pak Jokowi boleh menjabat tiga kali sehingga Jokpro mendorong MPR RI untuk segera melakukan amandemen konstitusi mengenai periodisasi jabatan presiden yang semula 2 menjadi 3 periode," ujar Timothy.
Baca juga: Daftar 4 Menteri yang Pernah Bicara Isu Penundaan Pemilu 2024, Ada Luhut hingga Bahlil Lahadalia
Terakhir, Jokpro juga melihat bahwa tidak masuk akal jika hanya kepala desa (kades) yang dapat menjabat hingga tiga periode.
Padahal, seorang kepala desa memimpin wilayah dan masyarakat yang jauh lebih kecil. Menurutnya, seorang presiden dengan jangkauan dan tanggung jawab memimpin yang lebih luas seharusnya diberikan kesempatan menjabat tiga periode.
"Terakhir, kami melihat bahwa ada logika yang kurang masuk akal mengenai jabatan presiden. Kami membandingkan jabatan presiden dengan kepala desa ya. Bagaimana mungkin presiden yang memimpin wilayah 83.000 kali lipat dibanding kepala desa hanya boleh 2 periode? Kepala desa itu berdasarkan Pasal 39 UU 6/2014 tentang Desa jabatannya itu boleh 3 kali, bahkan 1 periodenya itu dijabat 6 tahun," ucap Timothy.
"Jadi, kepala desa yang memimpin wilayah jauh lebih kecil dibanding presiden boleh menjabat 18 tahun, sedangkan presiden hanya 10 tahun? Ini kan tidak masuk akal, seharusnya presiden perlu diberi kesempatan 3 kali juga,” ujarnya.