Aplikasi PeduliLindungi Disebut Langgar HAM, Mahfud MD Sentil AS: Penanganan Covid-19 RI Lebih Bagus
Mahfud MD tanggapi tudingan AS yang menyebut aplikasi Peduli Lindungi langgar HAM.
Penulis: Shella Latifa A
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menanggapi tudingan Amerika Serikat (AS) yang menyebut aplikasi PeduliLindungi melanggar HAM.
Mahfud MD pun membantah adanya dugaan pelanggaran HAM di aplikasi PeduliLindungi.
Ia menjelaskan aplikasi PeduliLindungi dibuat sebagai langkah pemerintah menangani Covid-19 sebaik-baiknya.
Baca juga: Genjot Vaksinasi Covid-19 di Babel, BIN Sasar Warga Setelah Selesai Tarawih
Hal itu disampaikan Mahfud dalam keterangan persnya yang disiarkan YouTube Kemenko Polhukam RI, Sabtu (16/4/2022).
"Mengenai sorotan yang dilontarkan oleh Kementerian Luar negeri Amerika Serikat bahwa Indonesia ada dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penanganan Covid-19."
"Itu tidak masalah, itu bagian dari informasi."
"Tetapi ada dua hal. Pertama, pemerintah Indonesia membuat aplikasi PeduliLindungi justru untuk menangani Covid-19 sebaik-baiknya lalu dianggap melanggar HAM," jelas Mahfud.
Mahfud MD pun mengklaim RI menjadi negara terbaik dalam penanganan Covid-19 di Asia.
Baca juga: Amerika Tuding Aplikasi PeduliLindungi Langgar HAM, Ini Serangan Balik Mahfud MD
Ia bahkan menyinggung penanganan Covid-19 di AS yang lebih buruk ditimbang Indonesia.
"Misalnya kalau kita lihat dari Institute Lowy Australia, Amerika di berada barisan paling bawah, seperti Columbia, Mexico, Brazil itu paling jelek (penanganan Covid-19). Indonesia jauh di atas itu."
"Menko Airlangga pernah menyampaikan presentasi di dunia dalam aspek tertentu, penanganan Covid Indonesia ranking empat," ucap Mahfud.
Sehingga, menurut Mahfud MD, saat seseorang tidak bisa masuk ke suatu tempat karena terdeteksi Covid-19 di aplikasi PeduliLindungi adalah sebuah konsekuensi dari penanganan Covid-19, bukan melanggar HAM.
Baca juga: Aplikasi PeduliLindungi Disebut Melanggar HAM oleh AS, Kemenlu: Tak Ada Negara Sempurna Atas Isu HAM
Mahfud MD juga menilai tudingan AS soal laporan dugaan pelanggaran HAM di aplikasi PeduliLindungi tidak ada dasarnya atau sumber resmi.
Ia kemudian membuka catatan laporan dugaan pelanggaran HAM oleh AS berdasarkan laporan Special Procedures Mandate Holders (SPMH).
Dikatakannya, AS lebih banyak dilaporkan atas dugaan pelanggaran HAM timbang Indonesia.
"Itu justru dalam kurun, 2018-2021, Indonesia juga dapat laporan enggak jelas oleh 19 LS. Diwaktu yang sama, Amerika dilaporkan 76 kasus," kata Mahfud MD.
"Jadi, soal (dugaan pelanggaran HAM) itu kita saling lihat aja lah. Yang penting semuanya bekerja menurut garis masing-masing negara untuk menyelamatkan rakyatnya," sambung dia.
Baca juga: Mahfud MD Jawab Laporan Kemenlu AS Soal Dugaan Pelanggaran HAM Dalam Aplikasi PeduliLindungi
Terkait kabar pihak PBB bakal investigasi ke Indonesia, Mahfud MD menyebut hal tersebut tidak lah benar.
Ia menjelaskan bahwa dugaan pelanggaran HAM tersebut hanya berupa laporan saja.
"Itu enggak (benar), hanya laporan saja."
"Itu tidak ada konsekuensi, oleh SPMH, hanya ditempelkan di website. Indonesia mau jawab enggak. Itu laporan yang biasa saja."
"Nah orang yang tidak tahu dianggapnya ini serius pelanggaran HAM," kata dia.
Baca juga: Legislator PDIP: Apa Dasarnya Laporan AS soal Aplikasi PeduliLindungi Melanggar HAM
Sebelumnya diberitakan Tribunnews.com, terdapat sebuah laporan resmi yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat (AS), pekan ini.
Laporan ini menganalisa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di 2021 di 200 negara.
Laporan tersebut juga memuat Indonesia.
Dalam laporan berjudul "Indonesia 2021 Human Rights Report" itu, AS menyebut ada indikasi aplikasi pelacakan Covid-19 Indonesia, PeduliLindungi, telah melakukan pelanggaran HAM.
Disebutkan bahwa PeduliLindungi memiliki kemungkinan untuk melanggar privasi seseorang.
Sebab, informasi mengenai puluhan juta masyarakat ada di dalam aplikasi itu dan pihak aplikasi juga diduga melakukan pengambilan informasi pribadi tanpa izin.
AS pun menyebut indikasi ini sempat disuarakan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun tidak dijelaskan secara rinci siapa saja LSM tersebut.
(Tribunnews.com/Shella Latifa/Chaerul Umam)