Legislator PDIP Minta Jokowi Evaluasi Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng, Ini Alasannya
Presiden Jokowi dan jajarannya diminta mengevaluasi kebijakan moratorium atau pelarangan untuk melakukan ekspor dan minyak goreng.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajarannya mengevaluasi kebijakan moratorium atau pelarangan untuk melakukan ekspor Crude Palm Oil (CPO) atau minyak nabati mentah dari kelapa sawit, beserta minyak goreng.
Sebab pada ujungnya, kebijakan tersebut bisa merugikan petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng.
Menurut Deddy, keputusan pemerintah melakukan moratorium ekspor CPO dan minyak goreng tepat jika dilakukan dalam jangka waktu pendek.
Hal itu bisa dipahami sebagai langkah untuk memastikan melimpahnya pasokan di dalam negeri dan turunnya harga di tingkat domestik.
"Tetapi ini bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng juga, dan ini merugikan petani petani kecil yang ada di pedalaman. Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng," kata Deddy Yevri, dalam keterangannya, Jumat (22/4/2022).
"Perlu diingat bahwa sekitar 41 persen pelaku industri sawit adalah rakyat kecil. jadi ini menyangkut jutaan orang dan mereka yang pertama akan menderita akibat kebijakan tersebut," sambungnya.
Baca juga: Kemenperin Siapkan ID Food dan Bulog Ambil Alih Penyaluran Minyak Goreng Curah Bersubsidi
Sebagai Anggota DPR dari dapil Kalimantan Utara, Deddy sedang melakukan reses.
Turun ke dapilnya dan bertemu dengan warga masyarakat yang sebagian adalah petani kecil kelapa sawit, Deddy mengaku mendapatkan masukan dari warga masyarakat.
"Buah sawit itu tidak bisa disimpan lama, begitu dipanen harus segera diangkut ke pabrik kelapa sawit. Jika tidak, buahnya akan busuk. Akibatnya rakyat menanggung kerugian dan kehilangan pemasukan. Pemilik Pabrik kelapa sawit juga tidak bisa menampung CPO olahan dalam waktu lama. Sebab kualitasnya akan menurun dan tempat penyimpanan atau storage pun terbatas dan menambah biaya. Akibatnya, mereka akan menolak buah sawit milik petani dan tentu saja petani akan menjerit," ungkap Deddy.
Baca juga: Komjak Sebut Penetapan Tersangka Kasus Ekspor Minyak Goreng Era Baru Penegakan Hukum Indonesia
Deddy menilai, Pemerintah seharusnya tahu bahwa moratorium hanya akan menguntungkan pemain besar.
Khususnya mereka yang punya pabrik kelapa sawit sendiri, fasilitas refinery, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya.
Mereka juga memiliki modal kuat, memiliki kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan-pilihan lain untuk menghindari kerugian.
Jika ekspor itu dilarang, industri dalam negeri juga tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi.
Sebab kebutuhan minyak goreng yang bermasalah itu hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton pertahun dibanding total produksi yang mencapai 47 juta ton pertahun untuk CPO.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.