Gugat UU IKN Ke MK, Eks Penasehat KPK Abdullah Hehamahua Dkk Ajukan 3 Ahli
Pemohon mengatakan 13 peraturan perintah pendelegasian tersebut harusnya menjadi materi muatan yang diatur dalam level UU karena bersifat strategis
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemohon uji formil Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) dalam perkara Nomor 25/PUU-XX/2022, mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua dan kawan-kawan mengajukan tiga ahli ke Mahkamah Konstitusi.
Satu di antara tiga ahli tersebut yakni Prof Susi Dwi Hariyanti.
Ketua Majelis Hakim Panel yang memimpin sidang, Anwar Usman, mengatakan pihaknya telah menerima keterangan tertulis Susi.
Namun demikian, Susi tidak hadir dalam persidangan dengan agenda mendengar keterangan ahli pada sidang Senin (9/5/2022).
Hal tersebut disampaikannya dal sidang perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Senin (9/5/2022).
"Tapi berdasarkan informasi dari Panitera bahwa sampai tadi malam keterangan tertulis dari ahli Pemohon nomor 25 itu hanya satu orang yaitu dari Prof Susi Dwi Hariyanti. Dan hari ini, beliau tidak hadir, sehingga keterangannya tidak dibacakan dan dianggap sebagai keterangan ad informandum walaupun tertulis affidavit. Affidavit itu harus ada akta notarisnya, harus melalui di depan notaris," kata Anwar.
Kuasa hukum para Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa, mengatakan pihaknya hanya menyampaikan keterangan tertulis karena ada kendala waktu.
Baca juga: Bamsoet Dorong Pemerintah Korsel Dukung Pembangunan IKN dan Program Presidensi Indonesia dalam G20
Namun demikian, kata dia, pihaknya akan mengajukan dua keterangan ahli lagi secara tertulis.
"Kami ingin menyampaikan karena memang kendala waktu jadi kami hanya memasukan keterangan tertulis. Jadi mohon izin dalam hal ini masih ada dua keterangan tertulis ahli lagi Yang Mulia yang nanti akan kami masukkan. Jadi memang kapasitasnya keterangan ahli tapi tertulis Yang Mulia," kata Viktor.
Sebelumnya gugatan tersebut dimohonkan para Pemohon di antaranya karena adanya asas ketidaksesuaian antara jenis hirarki dengan materi muatan.
Adapun adanya ketidaksesuaian asas hirarki dan materi muatan terdapat pada 13 poin UU IKN yang di mana seharusnya sudah dimuat pada level Undang-Undang, menurut para Pemohon bukan pada peraturan pelaksana undang-undang.
Sebanyak 13 materi yang didelegasikan kepada peraturan pemerintah dapat dirinci yakni 6 materi untuk perintah kepada perturan pemerintah, 6 perintah kepada peraturan presiden dan 1 perintah kepada kepala otorita Nusantara.
Pemohon mengatakan 13 peraturan perintah pendelegasian tersebut harusnya menjadi materi muatan yang diatur dalam level UU karena bersifat strategis.
Pemohon menilai hal itu seperti rencana induk struktur organisasi yang berkaitan dengan kelembagaan wewenang otorita, pembagian wilayah proses perpindahan lembaga negara dan ASN yang semuanya harus diatur dan atau dirinci pada level Undang-Undang serta tidak dirumuskan dalam peraturan pelaksana, termasuk pendanaan merupakan hal yang pokok dan isu strategis dalam proses pemindahan IKN.
Atas hal itu, Pemohon berpandangan, UU IKN bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 pasal 5 huruf c tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.