Forum Sinologi: Etnis Tionghoa Berakar Budaya Indonesia, Tak Lagi Terikat Tanah Leluhur
Johanes Herlijanto berpendapat, sebagian masyarakat Indonesia masih cenderung mencampuradukkan Tionghoa Indonesia dengan China sebagai sebuah negara.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua sekaligus pendiri Forum Sinologi Indonesia, Johanes Herlijanto berpendapat, sebagian masyarakat Indonesia masih cenderung mencampuradukkan Tionghoa Indonesia dengan China sebagai sebuah negara.
Persepsi tersebut kembali muncul di permukaan seiring dengan meningkatnya kehadiran RRC di tanah air melalui investasi dan tenaga kerjanya.
Johanes Herlijanto menyampaikan pendapat tersebut menanggapi polemik mengenai masuknya ribuan tenaga kerja China ke Indonesia dan kini hal tersebut kembali merebak di masyarakat Indonesia, beberapa minggu terakhir.
Baca juga: Bertemu Menteri Agama, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia dan Kemenag Sinergi Program Dakwah
Menurut dosen Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan tersebut, kecenderungan mencampuradukkan China dan etnik Tionghoa tersebut tidak tepat.
Ini mengingat etnik Tionghoa di Indonesia sebenarnya telah berakar pada budaya dan identitas lokal setelah mengalami proses akulturasi selama berabad abad.
“Alih-alih berorientasi pada ‘tanah leluhur,’ mereka kini berpegang pada peribahasa luodi shenggen, yang artinya, kurang lebih, berakar pada tanah di mana mereka tinggal,” ujarnya dalam keterangan pers kepada Tribunnews, Selasa (15/6/2022).
Dalam pandangan Johanes, kecenderungan menyamakan antara Cina dan etnik Tionghoa di Indonesia merupakan sisa dari problema kewarganegaraan yang pernah muncul pada awal abad lalu.
Menurut penjelasannya, sejak berdiri di awal abad ke dua puluh, Republik China (Nasionalis) telah menganggap semua orang Tionghoa yang tinggal di luar Cina sebagai warganya.
'“Kebijakan ini menimbulkan ketidakjelasan status kewarganegaraan bagi orang Tionghoa di Indonesia, yang pada masa itu juga telah mewarisi kewarganegaraan Hindia Belanda, sebagai konsekwensi dari pemberlakuan Undang - Undang Kewarganegaraan Belanda pada tahun 1910,” tuturnya.
Baca juga: Apa Itu Bakcang? Simak Rangkaian Tradisi Tionghoa di Festival Peh Cun dan Sejarahnya
Sebagai akibat dari ketumpangtindihan status kewarganegaraan di atas, Tionghoa di Indonesia menghadapi sebuah permasalahan yang dikenal sebagai dwikewarganeraan.
Permasalahan tersebut menimbulkan ganjalan bagi kedua negara sejak hubungan diplomatik antara Indonesia dan Cina mulai berlangsung di tahun 1950.
“Apalagi pada tahun-tahun awal dasawarsa 1950 an, RRC berupaya mempengaruhi komunitas Tionghoa di Indonesia agar lebih mendekat pada Beijing, yang saat itu sedang berebut pengaruh dengan pemerintahan China Nasionalis di Taipei,” ujarnya.
Menurut pandangannya, penyebab RRC melakukan upaya di atas melalui kedutaan besarnya di Jakarta adalah karena China saat itu masih menganggap seluruh Tionghoa perantauan di luar China, termasuk Tionghoa Indonesia, sebagai warganya.
Meski demikian, merujuk pada karya Rizal Sukma yang berjudul Indonesia and China: the Politics of a Troubled Relationship, Johanes menceritakan bahwa upaya China tersebut menimbulkan kecurigaan di kalangan elite politik Indonesia saat itu.