Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hari Bank Indonesia Diperingati Setiap Tanggal 5 Juli, Berikut Sejarahnya

Peringatan Hari Bank Indonesia jatuh pada hari ini Selasa (5/7/2022), cikal bakal berdirinya BI berawal dari De Javasche Bank (DJB), ini sejarahnya.

Penulis: Lanny Latifah
Editor: Miftah
zoom-in Hari Bank Indonesia Diperingati Setiap Tanggal 5 Juli, Berikut Sejarahnya
Tribunnews.com
Ilustrasi Bank Indonesia - Bank Negara Indonesia (BNI) berdiri pada 5 Juli 1946. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan dan diperingati sebagai Hari Bank Indonesia, berikut sejarahnya. 

TRIBUNNEWS.COM - Hari Bank Indonesia diperingati setiap tanggal 5 Juli.

Pada tahun ini, peringatan Hari Bank Indonesia jatuh pada hari ini Selasa (5/7/2022).

Cikal bakal berdirinya Bank Indonesia berawal dari De Javasche Bank (DJB).

Dikutip dari buku Kompas 100 Corporate Marketing Cases (2009) karya Hermawan Kartajaya, selama Indonesia mempertahankan kemerdekaannya, Belanda merebut bank-bank pada masa Jepang di Indonesia.

Ketika Belanda berhasil membuka lagi De Javasche Bank, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan undang-undang darurat tentang berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946.

BNI menjadi bank pertama yang didirikan dan dimiliki oleh pemerintah Indonesia.

Tanggal tersebut kemudian ditetapkan dan diperingati sebagai Hari Bank Indonesia.

Ilustrasi Bank Indonesia
Ilustrasi Bank Indonesia (Tribunnews.com)

Baca juga: Kumpulan Twibbon Hari Bank Indonesia 5 Juli 2022, Ini Sejarahnya

Berita Rekomendasi

Sejarah Bank Indonesia

Melansir laman resmi Bank Indonesia, berikut ini sejarah berdirinya Bank Indonesia:

Pendirian De Javasche Bank (1828)

Pendirian De Javasche Bank yang nantinya menjadi cikal bakal Bank Indonesia.

Pada tahun 1828, pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi.

Sebagai bank sirkulasi, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.

​Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali, dan secara keseluruhan, DJB telah melakukan tujuh kali masa perpanjangan octrooi.

De Javasche Bank merupakan bank sirkulasi pertama di Asia.​

De Javasche Bank digunakan pemerintah kolonial untuk mendukung kebijakan finansial dari Sistem Tanam Paksa.

Rentang tahun 1829-1870, DJB melakukan ekspansi bisnis dengan membuka kantor cabang di beberapa kota di Hindia Belanda, termasuk di luar Jawa: Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), dan Pasuruan (1867).​

Kemudian rentang tahun 1870-1942, De Javasche Bank membuka 15 kantor cabang di kota-kota yang dianggap strategis di Hindia Belanda, yaitu: Yogyakarta (1879), Pontianak (1906), Bengkalis (1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907), Tanjungbalai (1908), Tanjungpura (1908), Bandung (1909), Palembang (1909), Manado (1910), Malang (1916), Kutaraja (1918), Kediri (1923), Pematang Siantar (1923), Madiun (1928).​

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945-1946)

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Pada masa ini, NICA mendirikan kembali DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA.

Hal ini bertujuan untuk mengacaukan ekonomi Indonesia.

Sesuai mandat yang tertulis dalam penjelasan UUD 45 pasal 23 yaitu “Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas ditetapkan dengan Undang-undang”, maka Pemerintah Republik Indonesia membentuk bank sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia (BNI).

Sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi, BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI).

Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war).

Pada masa ini, uang DJB yang dikenal dengan sebutan "uang merah" dan ORI dikenal sebagai "uang putih".

Baca juga: Tips Bank Indonesia Antisipasi Uang Palsu Saat Lakukan Penukaran

Berdirinya Bank Indonesia (1953)

Pada tahun 1951, muncul desakan kuat untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan ekonomi Republik Indonesia.

Oleh karena itu, Pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Nasionalisasi DJB.

Proses nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh Pemerintah RI, dengan besaran mencapai 97 persen.​

Pemerintah RI pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, yang menggantikan DJB Wet Tahun 1922.

Sejak 1 Juli 1953 Bank Indonesia secara resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.​

UU No.11 Tahun 1953 merupakan ketentuan pertama yang mengatur BI sebagai bank sentral.

Tugas BI tidak hanya sebagai bank sirkulasi, melainkan sebagai bank komersial melalui pemberian kredit.

Pada masa ini, terdapat Dewan Moneter (DM) yang bertugas menetapkan kebijakan moneter. DM diketuai Menteri Keuangan dengan anggota Gubernur BI dan Menteri Perdagangan.

Selanjutnya, BI bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter yang telah ditetapkan oleh DM.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Ekonomi Terpimpin. Pada masa ini, Gubernur BI ditetapkan sebagai anggota kabinet dengan sebutan Menteri Urusan Bank Sentral dan Dewan Moneter tidak berfungsi lagi.

Dalam bidang perbankan, terdapat doktrin "Bank Berdjoang" berupa penyatuan seluruh bank-bank negara menjadi Bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI) yang pendiriannya lewat Perpres No.17 Tahun 1965.

Dalam masa implementasi "Bank Berdjoang", Bank Indonesia diubah menjadi BNI Unit I, sedangkan bank-bank milik pemerintah lainnya dibagi menjadi BNI Unit II-V.

Pada tahun 1968, Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini mengembalikan tugas BI sebagai Bank Sentral Republik Indonesia dan menghentikan status BI sebagai BNI Unit I.

Salah satu pasal di dalam undang-undang ini juga mengatur bahwa BI tidak lagi memiliki fungsi menyalurkan kredit komersial, namun berperan sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara.

Sementara itu, melalui UU No.21 dan 22 Tahun 1968, bank-bank lainnya yang tergabung dalam Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri.​

(Tribunnews.com/Latifah)(Kompas.com/Serafica Gischa)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas