Perwira Aktif Jadi Pj Gubernur Aceh, Harus Dipastikan Pensiun dari TNI atau Alih Status Jadi ASN
pemerintah harus transparan dan segera menyusun mekanisme baku pengisian jabatan kepala daerah itu.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
Bagaimanapun, kata dia, publik masih sulit untuk yakin bahwa pelibatan TNI dan Polri selalu didasarkan pada niat baik rezim yang berkuasa.
Apalagi, kata dia, jika tak ada regulasi yang mengatur pelibatan itu secara ketat dan tegas, sementara rezim sebaik apapun, usianya paling lama 10 tahun.
"Menggunakan ketentuan-ketentuan terkait mekanisme pengisian jabatan pimpinan tinggi aparatur sipil negara yang tersedia saat ini saja saya kira tidak cukup," kata Fahmi.
Kedudukan Penjabat Kepala Daerah menurutnya bukanlah sekadar jabatan pimpinan tinggi madya atau pratama biasa.
Kedudukan mereka, kata dia, bisa dibilang nyaris setara dengan kepala daerah definitif yang oleh konstitusi diatur mekanisme pengisiannya harus melalui proses pemilihan umum untuk mendapatkan mandatnya.
"Nah, apakah fair jika pengisian penjabat kepala daerah itu kemudian hanya berdasarkan mekanisme dan prosedur administrasi kepegawaian, tanpa adanya manifestasi dan representasi legitimasi dan mandat dari rakyat?" kata Fahmi.
"Saya kira tidak. Itu jelas tidak senafas dengan amanat konstitusi dan jauh dari cita-cita reformasi," lanjut dia.
Ia mencontohkan penunjukan duta besar yang harus melalui proses persetujuan parlemen.
Fahmi pun mempertanyakan, mengapa opsi tersebut tidak dibuka untuk pengisian penjabat kepala daerah?
"Misalnya persetujuan DPR RI utk penjabat gubernur dan persetujuan DPRD Provinsi utk penjabat Bupati/Walikota. Opsi itu saya kira lebih fair, legitimate dan transparan," kata dia.
Sebelum membenahi dan menyempurnakan aturan main, memurutnya pemerintah sebaiknya tak memaksakan diri melibatkan atau menggunakan TNI/Polri secara massif untuk mengisi kekosongan kepala daerah.
"Masyarakat jangan diakali terus," kata Fahmi.