Perlukah Legalisasi Ganja untuk Medis di Indonesia? Ini Pendapat Guru Besar Fakultas Farmasi UGM
Menurut Prof Zullies, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganjanya, karena potensi penyalahgunaannya akan besar.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, menuturkan, urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar.
Menurutnya, hal itu lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan.
Meski demikian, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya, dengan melakukan pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat.
"Posisi ganja medis ini sebenarnya justru merupakan alternatif dari obat lain, jika memang tidak memberikan respon yang baik. Ganja medis baru bisa digunakan jika obat lain sudah tidak mempan, itupun dengan catatan bahwa ganja medis yang digunakan berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas,” terang Prof Zullies dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (9/7/2022).
Obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex ini bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM, dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.
Menurut Prof Zullies, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganjanya, karena potensi penyalahgunaannya akan besar.
"Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lain-lain walaupun alasannya adalah untuk terapi? Dikuatirkan akan banyak penumpang gelap yang akan menumpang pada legalisasi ganja. Berapa persen sih pengguna ganja yang benar-benar butuh untuk terapi dibandingkan dengan yang untuk rekreasi?," imbuhnya.
Ia mengatakan, sebaiknya bukan melegalkan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan yang sudah teruji klinis, yaitu CANNABIDIOL.
Sampai saat ini, ganja masuk dalam narkotika golongan 1, demikian juga dengan THC dan delta-9 THC, sedangkan Cannabidiol sama sekali belum masuk daftar obat narkotika golongan manapun.
Untuk Cannabidiol, dengan bukti-bukti klinis yang sudah ada, dan tidak adanya sifat psikoaktif, bahkan mungkin dimasukkan kedalam narkotika Golongan 2 atau 3 dalam lampiran daftar obat golongan narkotika yang dibuat oleh Kemenkes dan dapat diupdate.
Baca juga: Kementan Soal Wacana Ganja Medis: Tidak Ada di Daftar Tanaman Binaan dan Budidaya
Perlu koordinasi semua pihak terkait, yakni DPR, Kemenkes, BPOM, BNN, dan MUI untuk membuat regulasi untuk pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari Cannabis, seperti Cannabidiol, dengan mempertimbangkan semua risiko dan manfaatnya.
"Riset-riset terkait ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, dengan tetap membatasi aksesnya untuk menghindarkan penyalahgunaannya," ujar Prof Zullies.
Misalnya, obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.
"Jadi, perkembangannya mungkin bisa sama seperti morfin yang juga berasal dari tanaman opium/candu. Morfin adalah obat yang legal digunakan, selama diresepkan dokter dan digunakan sesuai indikasi seperti pada nyeri kanker yang memang sudah tidak mempan lagi dengan analgesik lain," kata dia.
Tentu dengan regulasi dan pengawasan distribusinya yang ketat. Tetapi tanamannya yaitu Opium tetap masuk dalam Narkotika golongan 1 karena memiliki potensi penyalahgunaan yang besar.
Ganja Medis Bukan Tanaman Ganja
Banyak pemahaman yang kurang pas terkait dengan pengertian ganja medis.
Seolah-olah asal ganja, dapat dipakai untuk terapi medis.
Hal ini menimbulkan pemahaman yang keliru di masyarakat.
Ia menerangkan, istilah ganja medis adalah terjemahan dari bahasa Inggris medical cannabis, dan itu digunakan dalam banyak literatur ilmiah.
"Artinya adalah obat yang berasal dari ganja. Karena itu adalah obat, maka tentu harus memenuhi sifat sebagai obat yaitu senyawanya terstandar, terukur dosisnya dan digunakan sesuai indikasi dengan cara yang tepat. Yang perlu diluruskan tentang ganja medis ini juga adalah bukan keseluruhan tanaman ganjanya, tetapi komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi," tegasnya.
Ganja memiliki beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi.
Komponen utama pada ganja (Cannabis) adalah golongan cannabinoids.
Cannabinoids sendiri terdiri dari berbagai komponen, dimana yang utama adalah Tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat Psikoaktif, dan Cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat Psikoaktif.
"Efek-efek terhadap mental termasuk menyebabkan memabukkan dan ketergantungan adalah THC-nya," imbuh perempuan berhijab ini.
Sedangkan CBD memiliki efek farmakologi sebagai anti kejang. CBD bahkan sudah dikembangkan menjadi obat, dan sudah mendapat persetujuan oleh FDA, misalnya dengan nama Epidiolex, yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.
Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespon terhadap obat lain.
Pada kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja.
Tetapi tentu saja yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja.
"Jadi kalau dalam bentuk tanaman, masih bercampur dengan THC yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental dan memabukkan. Kandungan dalam ganja medis bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan," jelas dia.
Namun jika sudah jadi senyawa murni, seperti CBD, terukur dosisnya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten.
Regulasi Riset Ganja Medis Disiapkan
Awal pekan ini, Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Kementerian Kesehatan RI akan segera memberikan izin ganja untuk dilakukan penelitian medis.
Regulasi itu akan mengacu pada hasil kajian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait penggunaan ganja untuk medis.
Penelitian ganja diizinkan arena sama halnya dengan tumbuhan lain. Namun Menkes dengan tegas mengatakan bahwa ganja untuk konsumsi tetap dilarang.
Sementara itu, Ketua Umum PB IDI dr Adib Khumaidi mengatakan, sejauh ini riset lebih lanjut masih dilakukan terkait ganja sebagai pengobatan.
IDI mendorong adanya riset terlebih dahulu sebelum akhirnya digunakan dalam pelayanan medis.
Para pakar IDI yang dilibatkan dalam riset di Kementerian Kesehatan RI dan lembaga terkait lainnya masih terus mengumpulkan referensi ilmiah terkait ganja medis.
“Proses di internal sudah dilakukan oleh IDI dengan elaborasi dengan dasar ilmiah yang ada, tentunya riset dengan referensi ilmiah. Semuanya harus tetap berbasis evidence based, jangan sampai merugikan dan keamanan, keselamatan pasien harus diperhitungkan,” tegas dr Adib.