Pengamat: Prabowo Subianto Diserang Kampanye Hitam, Coba Gembosi Elektabilitas
Diduga kampanye hitam ini dilakukan untuk menggembosi elektabilitas Prabowo Subianto. Sebab, ia disebut capres potensial di Pilpres 2024.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mulai diserang kampanye hitam atau black campaign.
Diduga kampanye hitam ini dilakukan untuk menggembosi elektabilitas Prabowo.
Diketahui, nama Prabowo dalam sejumlah survei terakhir disebut sebagai calon presiden paling potensial di Pilpres 2024.
Baca juga: Prabowo Subianto Disebut Sebagai Pendukung Utama Presiden Jokowi, Ini Alasannya
Salah satu kampanye hitam yang beredar adalah tudingan Prabowo saat ini adalah soal kepemilikan apartemen di Paris.
Apartemen tersebut diklaim sebagai milik Prabowo yang belum tercantum di laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN).
Namun, ketika ditelusuri lebih jauh, apartemen tersebut merupakan aset perusahaan milik Prabowo yang notabene sudah dicantumkan olehnya dalam laporan kekayaan tersebut.
Bahkan, saham perusahaan Prabowo juga sudah dirangkum dalam LHKPN, dan sudah tax amnesty 2016, baik saham perusahaan maupun apartemennya.
Pengamat politik Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin menilai bahwa kampanye hitam sengaja menyerang pribadi Prabowo, sekalipun kenyataannya tidak benar.
"Saya melihat kalau itu bagian dari pada black campign terhadap Prabowo artinya setiap capres dan cawapres hari ini sudah mulai diserang terkait dengan kekurangan atau kelemahan mereka masing-masing. Walaupun kelemahan dan kekurangan itu belum tentu terbukti," kata Ujang kepada wartawan, Minggu (10/7/2022).
Diketahui soal apartemen tersebut sudah dilampirkan Prabowo dalam LHKPN.
Apartemen tersebut merupakan aset perusahaan Prabowo yang notabene sudah ia laporkan ke KPK.
Ujang menilai keberadaan KPK di sini sebagai lembaga yang menentukan, apakah apartemen tersebut harus dicantumkan di LHKPN atau tidak, mengingat perusahaan milik Prabowo sudah termaktub dalam setiap laporan tahunan yang dilaporkan berkala setiap tahunnya.
"KPK yang punya kewenangan begitu, apakah layak untuk tidak diaporkan ataukah layak," ujar Ujang. (*)