Komnas HAM Akan Minta Keterangan Pemkab Lumajang Hingga Polisi Soal Dugaan Human Error Erupsi Semeru
Komnas HAM akan meminta keterangan dari Pemkab Lumajang hingga kepolisian terkait dugaan human error dalam bencana erupsi Gunung Semeru pada 2021 lalu
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara mengatakan pihaknya akan meminta keterangan dari Pemerintah Kabupaten Lumajang, Kementerian ESDM, hingga kepolisian terkait dugaan human error dalam bencana erupsi Gunung Semeru Jawa Timur pada Desember 2021 lalu.
Hal tersebut dilakukan Beka menyusul aduan dari tiga warga Dusun Kamar Kajang Desa Sumber Wuluh Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang Jawa Timur korban eruspi Gunung Semeru terkait human error yang diduga dilakukan perusahaan tambang pasir CV Duta Pasir Semeru (DPS) terkait erupsi Gunung Semeru.
Beka mengatakan, pihaknya telah mengumpulkan keterangan dan mencari informasi terkait dugaan tersebut sebelum tiga korban mendatangi langsung Komnas HAM RI pada Senin (11/7/2022).
Baca juga: Kisah Korban Erupsi Semeru Jalan Kaki Dari Lumajang Ke Jakarta, Tidur di Masjid dan Diancam Ditabrak
"Terkait aduan hari ini kami akan menindaklanjuti aduan tersebut dengan memintakan keterangan kepada semua pihak yang memang terlibat dengan aduan ini," kata Beka usai pertemuan.
"Terutama pemerintah kabupaten Lumajang, kemudian Kementerian ESDM, Kepolisian Polres Lumajang maupun Polda Jawa Timur. Karena tadi disampaikan juga sudah mengadu ke melaporkan ke Polda Jatim," kata Beka.
Sebelumnya tiga orang korban erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur pada 4 Desember 2021 lalu yakni Supangat (52), Nurkholik (39), dan Masbud (36) telah tiba di Jakarta.
Setelah berjalan kurang lebih 17 hari dari Dusun Kamar Kajang Desa Sumber Wuluh Kec Candipuro Kabupaten Lumajang Jawa Timur, mereka kemudian mendatangi kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Senin (11/7/2022) untuk mengadukan dugaan human error terkait bencana erupsi Gunung Semeru tersebut yang berdampak pada warga.
Didampingi tim advokasi, mereka menemui Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara.
Usai pertemuan, Nurkholik mengatakan ia dan warga telah berulang kali menyampaikan baik kepada perusahaan, Kementerian ESDM, Bupati Lumajang, DPRD Kabupaten Lumajang, dan kepolisian terkait kondisi pertambangan yang sudah mengkhawatirkan warga.
Namun demikian, kata dia, laporan tersebut tidak diindahkan hingga saat ini.
"Kalau ke Bupati sudah sering, kami ke Pemkab, ke DPRD hearing, dan melaporkan itu sering kami. Sampai bosan kami," kata Nurkholik.
"Makanya kami sampai merasa sudah tidak ada lagi tempat kecuali kami berjalan walaupun kami seadanya berjalan, kami sudah mengumpulkan tekad kami untuk berjalan dan menahan semua kelaparan semua apalah," kata dia.
Nurkholik mengungkapkan human error tersebut diduga dilakukan oleh CV Duta Pasir Semeru (DPS) yang melakukan aktifitas penambangan pasir di sekitar wilayah tempat tinggal mereka.
Ia mengatakan, perusahaan tersebut sebenarnya telah mendapatkan izin sejak 2015.
Namun demikian, kata dia, aktifitas CV DPS pada 2019 sampai 2020 kegiatan pertambangan tersebut mulai mengkhawatirkan karena perusahaan tersebut membangun tanggul-tanggul melintang untuk menutup atau menghambat aliran lahar atau aliran air.
Selain itu, kata dia, perusahaan tersebut juga membangun kantor dan workshop di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menyebabkan pendangkalan sungai mengingat rumah mereka berada di sekitar aliran sungai.
"Kami duga perusahaan (melakukan) ini untuk menjebak pasir atau mempermudah untuk pengambilan pasir," kata Nurkholik.
Dalam pertemuan tersebut, anggota tim advokasi dari LBH Damar Indonesia, Dimas, berharap masalah tersebut dapat terungkap dan keadilan bagi masyarakat Lumajang bisa segera ditegakkan.
"Dan pertambangan yang ada di aliran Gunung Semeru bisa dilakukan evaluasi dengan jelas dan oknum-oknum siapapun itu bisa ditindak secara hukum, secara adil," lanjut Dimas.