Mundur dari Komisioner KPK, Pelanggaran Pidana Lili Pintauli Tetap Akan Dikejar
Aspek pelanggaran pidana Lili Pintauli Siregar tetap akan diusut meski dia menyatakan mundur dari jabatan sebagai pimpinan KPK.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lili Pintauli Siregar resmi menyatakan mundur dari pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelang sidang etik atas dirinya.
Lili sebelumnya diduga menerima gratifikasi tiket dan akomodasi nonton MotoGP Mandalika di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, pada Maret 2022, dengan total penerimaan sekira Rp90 juta dari pihak PT. Pertamina (persero).
Dalam prosesnya, Dewan Pengawas KPK telah meminta klarifikasi sejumlah pihak guna mendalami laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku yang dilakukan oleh Lili Pintauli.
Salah satu pihak yang diklarifikasi ialah Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, Rabu (27/4/2022).
Dewas KPK juga sudah mendalami banyak hal melalui klarifikasi terhadap Lili dan ajudannya yang bernama Oktavia Dita Sari.
Dari informasi yang dihimpun, Dewas KPK juga telah meminta dokumen mengenai laporan tersebut.
Di antaranya bukti pemesanan dan pembayaran tiket MotoGP tanggal 18-20 Maret 2022 pada Grandstand Premium Zona A. Kemudian, pemesanan penginapan di Amber Lombok Beach Resort tanggal 16-22 Maret 2022.
Baca juga: Disinggung Tanggung Jawab Soal Kasus Lili Pintauli Siregar, Begini Pembelaan Komisi III DPR
Lili dilaporkan ke Dewas KPK atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku karena diduga menerima fasilitas akomodasi hotel hingga tiket menonton ajang balap MotoGP Mandalika 18-20 Maret 2022 dari Pertamina.
Dewan Pengawas KPK pun menjadwalkan sidang etik terhadap Lili pada Selasa (5/7) terkait laporan dugaan gratifikasi tersebut, tapi Lili mangkir karena tengah mengikuti agenda KPK di Bali.
Baca juga: KPK Bergeming Terkait Pengusutan Dugaan Gratifikasi Lili Pintauli Siregar, Begini Penjelasannya
Senin (11/7) lalu, Dewas KPK kembali menjadwalkan kembali sidang etik terhadap Lili. Namun, sidang itu batal terlaksana karena Lili terlebih dulu menyatakan mengundurkan diri dari lembaga anti rasuah tersebut.
"Dewan Pengawas KPK menyatakan sidang etik gugur dan tidak melanjutkan penyelenggaraan sidang etik tersebut," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean membacakan putusan sidang di kantor Dewas KPK, Jakarta.
Keputusan ini disebabkan Lili telah mengajukan surat pengunduran diri sebagai Wakil Ketua KPK.
Baca juga: Dewas Akui Telah Serahkan Bukti Dugaan Gratifikasi MotoGP Lili Pintauli ke Pimpinan KPK
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pun telah meneken surat keputusan presiden (keppres) 71/P Tahun 2022 tentang pemberhentian Lili.
"Terperiksa tidak lagi menjadi bagian insan Komisi, sehingga dugaan kode etik dan pedoman perilaku tidak dapat dipertanggungjawabkan," kata Tumpak.
Atas putusan Dewas KPK, Lili menyatakan menerima. "Saya menerima penetapan majelis," ucap Lili.
Lanjutkan Sidang Etik
Pengunduran diri Lili Pintauli Siregar dari jabatan Wakil Ketua KPK pun menjadi sorotan banyak pihak. Mulai dari eks pegawai KPK, MAKI hingga anggota DPR.
Mereka mempertanyakan keputusan Dewas KPK yang tidak melanjutkan sidang etik terhadap Lili Pintauli.
Padahal, dugaan gratifikasi tersebut harus dibuktikan terlebih dulu. Satu di antaranya kritik dari Indonesia Memanggil (IM) 57+ atau para eks pegawai KPK.
Ketua IM 57+ Institute Praswad Nugraha meminta agar sidang etik terhadap Lili Pintauli tetap harus dilanjutkan.
Menurutnya, pengunduran diri tidak menghapus dugaan tindak pidana gratifikasi yang dilakukan oleh Lili Pintauli.
Baca juga: Jokowi Segera Ajukan ke DPR Sosok Pengganti Lili Pintauli sebagai Wakil Ketua KPK
"Lanjutkan sidang, perbuatan menerima gratifikasi dilakukan Lili saat menjadi Pimpinan KPK, tindakan mengembalikan uang ataupun pengunduran diri sebagai pegawai tidak menghapus pidana penerimaan gratifikasi yang di duga dilakukan oleh Lili," kata Praswad saat dikonfirmasi.
Ia menyampaikan, kasus ini menunjukkan bahwa pimpinan KPK mempertontonkan tindakan tidak kesatria. Yakni, dengan cara menghindari sidang kode etik memakai strategi mengundurkan diri.
"Ini adalah perbuatan yang tidak terpuji dan tidak patut. Tindakan upaya menghindar dari pertanggung jawaban kode etik yang dicontohkan oleh Lili ini dikhawatirkan akan jadi preseden buruk ke depannya, bisa di contoh oleh seluruh pegawai KPK," ungkapnya.
"Semua pegawai KPK dikhawatirkan dapat mencontoh cara yang sama, “langgar saja kode etik, atau lakukan saja perbuatan korupsi, karena jika ketahuan tinggal mengundurkan diri” dan masalah akan selesai, serta yang bersangkutan akan terlepas dari tanggung jawab pidana," sambungnya.
Lebih lanjut, Praswad menambahkan bahwa Ketua KPk Firli Bahuri juga menggunakan strategi yang sama saat akan disanksi kode etik pada waktu masih menjabat sebagai Deputi Penindakan.
Saat itu, dia mengundurkan diri agar terhindar dari sanksi kode etik KPK.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak proses pidana gratifikasi terhadap Lili Pintauli tetap dilanjutkan usai pengunduran dirinya sebagai Wakil Ketua KPK.
"KPK seharusnya tetap mendalami terkait dugaan pidana gratifikasi atau suap, karena keduanya merupakan hal yang terpisah," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman.
Boyamin mengatakan, jika sidang etik terus dilanjutkan dan Lili diberikan sanksi berat, maka diminta mengundurkan diri.
"Sekarang sudah mengundurkan diri karena dia diduga merasa bersalah, maka dia mengundurkan diri karena ini sudah kasus yang kedua, itu urusannya dewan pengawas," ucapnya.
Namun terkait dengan dugaan tindak pidana suap atau gratifikasi, Boyamin mengatakan bahwa KPK harus menindaklanjutinya.
"Jika ada dugaan hukum di pidana, maka tidak ada proses batal atau gugur karena dua hal yang terpisah. Karena baik Pasal 36 UU KPK berkaitan dengan melakukan komunikasi dengan pihak yang sedang jadi 'pasien' KPK atau ketentuan suap atau gratifikasi, itu berdiri sendiri meskipun ruhnya pelanggaran kode etik, namun hukum pidananya berdiri sendiri dan tidak batal dan bisa diproses hukum," terang Boyamin.
"KPK keras dengan orang lain, maka juga harus keras dengan dirinya sendiri, yaitu dengan dugaan korupsi yang dilakukan oleh orang-orang di dalam KPK, baik pimpinan maupun pegawainya," jelasnya.
Kritikan pedas juga datang dari Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul.Ia mempertanyakan soal Dewas KPK yang menggugurkan sidang etis terhadap eks Pimpinan KPK, Lili Pintauli Siregar.
Bambang Pacul mengatakan bahwa pejabat negara yang menerima gratifikasi diatur dalam Pasal 12 UU no 21 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
"Lalu tindak pidana itu habis karena kemudian dia mengundurkan diri? Mana bisa, teori dasarnya enggak pas bos. Negara hukum tindakan pidana kemudian selesai dengan mengundurkan diri, dari mana rumusannya tolong dong kasih tahu saya," kata Pacul.
Dia akan menanyakan ke Dewas KPK hal tersebut.
"Nanti kita tanyakan dasar hukumnnya apa. Kalau hari ini pegangan saya dasar hukumnya tidak bisa. Pasal 12 kok, gratifikasi. Tinggal gratifikasi diterima awal atau diterima akhir. Kalau diterima awal gratifikasi itu namanya pasalnya 12 a, diterima di akhir 12 b. Sama sama melanggar," ujarnya.
Pacul kemudian menjawab pertanyaan apakah memang hal tersebut berlaku bagi pejabat negara yang sudah mundur.
"Pejabat negara dikecualikan? Kan begitu? Itu ada kawan saya sudah tidak menjabat juga masih kena proses gratifikasi masuk, aku tidak usah sebut namanya, tetapi masuk juga sudah berhenti enggak menjabat," tandas dia.
Kasus dugaan pelanggaran etik yang menjerat Lili ini bukan kali pertama.
Pada Agustus 2021, Lili terbukti melanggar etik karena menyalahgunakan pengaruh sebagai pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi.
Dia juga berhubungan langsung dengan eks Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK.
Atas pelanggaran itu, Lili dikenakan sanksi berat berupa pemotongan gaji 40 persen selama 12 bulan. (tribunnetwork/yuda).