Cerita Rahmah, Wanita Lulusan SMA Sukses Bawa Kopi Gayo Mendunia
Rahmah membagikan pengalamannya terjun ke dunia bisnis kopi hingga bisa merambah dunia internasional.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Koperasi Ketiara Coffee Gayo, Rahmah membagikan pengalamannya terjun ke dunia bisnis kopi hingga bisa merambah dunia internasional.
Dalam sesi dialog peluncuran portal TribunGayo.com, Rahmah berkisah dirinya yang hanya lulusan SMA memulai usaha dengan membuka usaha kecil-kecilan jual beli cerry atau biji kopi gelondongan.
Usahanya itu dimulai sejak tahun 2009 lalu, khusus untuk biji kopi gayo.
"Jadi Rahmah mulai dari nol, beli glondong jual gabah (HS). Gabah itu setelah dikupas kulitnya, itu namanya gabah," kata Rahmah saat berdialog dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra yang bertindak sebagai host, Kamis (21/7/2022).
Adapun, acara peluncuran turut diisi kegiatan webinar hybrid dengan mengangkat tema 'Bangga Pariwisata dan Kopi Gayo'.
Baca juga: Dubes Belanda: Potensi Kopi Gayo Masih Bisa Dioptimalkan, Sehari Konsumsi Empat Cangkir
Rahmah kemudian menceritakan proses biji kopi gayo yang akan siap dijual.
Biji kopi yang telah dikupas kulitnya lalu dijemur hingga memiliki kadar air 40 persen.
Setelah itu, ditumbuk namanya kehaler menjadi labu.
Dari labu kemudian dijemur menjadi green bean namanya asalan.
Dari asalan masuk ke mesin untuk membuang debu dan kulit.
Baca juga: Wamendes Budi Arie: TribunGayo.com Diharapkan Turut Promosikan Kopi Gayo ke Seluruh Dunia
Ia yang tergabung dalam koperasi, dibantu ibu-ibu anggota koperasinya melakukan sortir dan penyimpanan atau biasa orang gayo sebut biji kopi 'ditidurkan satu malam'.
"Kita tidurkan satu malam, setelah tidur satu malam besoknya baru kita masukin dalam goni, baru eksport. Di situlah dapat kualitas kopi terbaik," ungkapnya.
Sementara, Rahmad baru mengembangkan bisnisnya ke pasar internasional pada tahun 2013.
Saat itu, dirinya memberanikan diri untuk ikut dalam acara Specialty Coffee Association of America.
Di sana, kata Rahmah, para pecinta kopi di Amerika sangat terkesan dengan cita rasa kopi gayo.
"Sampai Rahmah itu di Amerika itu namanya bendera merah putih semua satu stand itu, 'Ini loh kopi Gayo'. Karena dari dulu kopi gayo itu sebelum putra daerah ekspor belum dikenal," ucapnya.
"Dikenal hanya kopi mandailing karena kami jual kopi ke Medan, jadi keluarlah kopi Mandailing. Sekarang pembeli itu roster atau buyer sudah mengenal kopi gayo," sambungnya.
Saat ini, Rahmah mengaku omset usahanya bisa mencapai Rp 100 miliar.
Baca juga: Provinsi Aceh Maksimalkan Pendapatan Daerah Lewat Potensi Pariwisata dan Kopi Gayo
Namun, tentu saat awal usahanya penuh dengan tantangan termasuk modal usaha.
Apalagi, terjun di bisnis kopi, diperlukan modal besar mulai dari perawatan kebun, pupuk organik, hingga mesin untuk mencari kualitas kopi terbaik.
"Kalau uang sendiri sudah pasti nggak cukup, karena saya punya kebun pun hanya satu hektar, nggak mungkin dapat modal miliaran. Karena butuh modal itu harusnya ada Rp 30 miliar," katanya.
"Makanya sebelum kenal dengan Bank Indonesia sudah dapat pencairan dari Bank Dunia, Bank Capital, jadi orang pertama yang cair di Indonesia itu, karena kami ceritakan tidak ada modal," lanjut dia.
Rahmad juga menceritakan, tanpa anggunan, dirinya mendapat suntikan modal kurang lebih 2 juta dollar USD.
Ia juga menceritakan adanya permasalahan yang dihadapi para eksportir kopi gayo ke Eropa.
Sejak tahun 2019 lalu, buyer di Eropa enggan menerima kiriman biji kopi gayo.
Hal itu disebabkan biji kopi tercemar kandungan bliposat akibat penggunaan pupuk atau obat pembasmi hama di sekitar perkebunan.
"Jadi kata bayer, 'Rahmah kami tidak mau membeli kopi yang beracun, kamu tahu nggak ini bisa menyebabkan kanker bisa menyebabkan pokoknya penyakit parah'," katanya.
Maka dari itu, ia mendorong Pemerintah Aceh dan pemerintah daerah untuk turut membantu petani dengan menyediakan pupuk organik dan alat pemotong.
"Jadi mari kita berbenah, di negara Kolombia itu sekarang pemerintahnya sudah membuat pupuk organik mungkin, enggak ada salahnya Pak Gubernur bisa mendengar, Pak Bupati, buatlah pupuk organik, masalah kita banyak jadi dibagikan ke petani biar tidak memakai pupuk kimia lagi," katanya.