Dalam Perkara Mardani Maming, KPK Dinilai Delegitimasi Perjanjian Bisnis
Langkah KPK memperkarakan Mardani Maming dalam dugaan suap terkait pelimpahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel, disorot.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkarakan Mardani H. Maming dalam dugaan suap terkait pelimpahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, mendapat sorotan.
Pasalnya KPK dinilai telah mendelegitimasi perjanjian bisnis antarperusahaan dalam kasus tersebut.
KPK sebelumnya menganggap perjanjian bisnis empat perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani Maming sebagai pintu masuk suap kepada eks Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2018 itu.
Hal itu tertuang dalam jawaban tertulisnya atas permohonan praperadilan yang diajukan Mardani Maming di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Demikian dikemukakan Anggota Tim Kuasa Hukum Mardani Maming dari Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU, Abdul Qadir bin Aqil, di Jakarta, Sabtu (23/7/2022).
"Padahal, transaksi bisnis antara empat perusahaan itu dengan PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) adalah murni bisnis,” kata Abdul Qadir.
Abdul Qodir mengatakan KPK bahkan mengklaim pendirian keempat perusahaan tersebut difasilitasi dan dibiayai oleh PT PCN.
Menurut KPK, lanjut dia, semua itu dilakukan oleh PT PCN sebagai gratifikasi karena Mardani Maming telah melimpahkan IUP kepada PT PCN.
Baca juga: Penyidik KPK Kembali Pantau Sidang Praperadilan Mardani Maming
Abdul Qodir mengatakan fakta hukum menunjukkan bahwa dua dari empat perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani Maming itu berdiri sebelum PT PCN mendapatkan pelimpahan IUP pada 16 Mei 2011.
PT Angsana Terminal Utama (PT ATU) berdiri pada 21 Februari 2011 dan PT Batulicin Enam Sembilan (PT BES) pada 18 Maret 2003.
Dua perusahaan lainnya, yakni PT Trans Surya Perkasa (PT TSP) dan PT Permata Abadi Raya (PT PAR) masing-masing berdiri pada 2014 dan 2015.
“PT PCN bahkan baru masuk sebagai investor di PT ATU, yang mengelola pelabuhan batu bara, pada April 2012,” kata Abdul Qodir.
Dikatakan bahwa dalam jawabannya, KPK sebenarnya mengakui ada perjanjian formal di antara keempat perusahaan itu dengan PT PCN.
Baca juga: Jangan Sampai Dijemput Paksa, PBNU Diminta Dorong Mardani Maming Penuhi Panggilan Kedua KPK
Bahkan setiapkali memerinci transaksi keuangan antarperusahaan dimaksud, KPK menyebut semua didasarkan pada perjanjian antarperusahaan.
Meskipun demikian, KPK berkukuh perjanjian kerja sama formal itu cuma bungkus untuk menampung aliran uang suap yang diberikan oleh Almarhum Henry Soetio sebagai Direktur PT PCN kepada Mardani Maming.
Dari transaksi bisnis diantara empat perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani Maming dengan PT PCN, KPK mencatat total uang lebih daripada 104 miliar rupiah.
Dari semua catatan transfer yang diperoleh KPK, tak ada satu pun catatan yang menunjukkan nama Mardani Maming sebagai penerima.
“Jadi, seluruhnya memang transaksi antarperusahaan, business to business,” kata Abdul Qodir.
“Oleh karena itu, bagi kami, ini upaya mendelegitimasi perjanjian bisnis.”
Pendapat kuasa hukum Mardani Maming diperkuat dengan keterangan ahli Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan, Teddy Anggoro, dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis 21 Juli 2022.
Teddy mengatakan, dengan adanya perjanjian yang dibuat antarperusahaan, maka urusan tersebut masuk ke dalam wilayah perdata.
Ahli perbankan yang dihadirkan KPK ke persidangan pada Jumat, 22 Juli 2022, Yunus Husein, menyampaikan bahwa perusahaan yang dijadikan sarana untuk menyimpan uang hasil kejahatan biasanya memiliki ciri-ciri seperti melakukan transaksi tunai dalam jumlah besar ke rekening individu-individu yang berbeda dan tidak memiliki underlying (kegiatan yang mendasari ) transaksi yang jelas.
Yunus mencontohkan kasus korupsi proyek Hambalang, dimana terpidana anggota DPR Muhammad Nazaruddin mendirikan puluhan perusahaan dan kerap melakukan transaksi secara tunai dalam jumlah besar.
Anggota tim kuasa hukum lainnya, Denny Indrayana, mengatakan keterangan ahli dari KPK, Yunus Husein, justru memperkuat argumen mereka bahwa perkara Mardani Maming murni bisnis semata. Itu karena transaksi keempat perusahaan tersebut didasarkan atas underlying transaksi yang jelas (bisnis pengelolaan pelabuhan batu bara), perjanjian formal, dan menggunakan rekening perusahaan.
“Nanti akan kami buktikan bahwa ini memang transaksi bisnis karena dicatat, tidak dalam bentuk tunai, dan jelas siapa yang menerimanya,” kata mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu.
Selanjutnya, KPK juga menganggap bahwa Almarhum Henry Soetio memahami semua transaksi bisnis itu sebagai imbal balik atas pelimpangan IUP yang diperoleh PT PCN.
“Persoalannya, dari mana KPK bisa mengkonfirmasi itu adalah pemahaman Henry Soetio sementara yang bersangkutan sudah meninggal dunia pada 2021,” kata Abdul Qodir.
Abdul Qodir secara retoris juga bertanya bagaimana bisa suap-menyuap dicatatkan dalam sebuah perjanjian yang jelas. B
ahkan, karena PT PCN menunggak pembayaran kewajibannya kepada PT PAR, urusan ini sampai masuk ke Pengadilan Niaga dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
“Selain itu, jika memang ini suap karena kewenangan Mardani Maming sebagai bupati, mengapa PT PCN masih tetap melakukan pembayaran saat klien kami sudah tidak lagi menjabat,” kata Abdul Qodir.
Dalam dokumen jawabannya, KPK memang mengakui bahwa pembayaran masih berlangsung meskipun Mardani Maming telah berhenti dari jabatan bupati pada 2018. Bahkan, menurut catatan KPK, ada perjanjian baru antara PT PCN dengan PT PAR untuk merestrukturisasi utang PT PCN kepada PT PAR.
KPK tetap meyakini penyidik mereka telah mengantongi alat bukti permulaan yang cukup, antara lain setelah memperoleh keterangan dari 18 saksi. Tapi, menurut Abdul Qodir, semua saksi yang dimintai keterangan oleh KPK menyampaikan kesaksian de auditu.
Kesaksian de auditu adalah keterangan yang disampaikan karena mendengar dari orang lain.
Saksi de auditu tidak melihat, mendengar, dan mengalami langsung peristiwa dari suatu perkara.
Sejumlah pakar hukum menilai kesaksian de auditu hanya dapat dijadikan persangkaan, dan bukan alat bukti.
“Saksi yang diperiksa KPK itu kan kebanyakan menyatakan, ‘sepengetahuan saya’,” kata Abdul Qodir.
“Jadi, mereka hanya mendengar cerita dari Almarhum Henry Soetio, sementara yang bersangkutan sudah tidak bisa lagi dimintai konfirmasi karena sudah meninggal dunia.”
Mardani Maming ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dugaan korupsi terkait pelimpahan IUP ke PT PCN saat Bendahara Umum PBNU itu menjabat Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2018.
Mardani Maming, melalui tim kuasa hukumnya, mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya.
Dimulai sejak Selasa, 19 Juli 2022, persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan berakhir dengan putusan pada Selasa, 26 Juli 2022.