Kejaksaan Agung Usut Dugaan Korupsi Pengadaan Tower Transmisi PLN, Perkaranya Sudah Tahap Penyidikan
Kejaksaan Agung RI mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi tahun 2016 di PT PLN (Persero).
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung RI mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi tahun 2016 di PT PLN (Persero).
Kasus tersebut kini sudah naik ke tahap penyidikan.
"Saat ini kejakasaan sedang fokus menangani beberapa penyidikan tindak pidana korupsi antara lain penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower tranmisi. Ini tahun 2016 di PT PLN (Persero)," kata Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin kepada wartawan, Senin (25/7/2022).
Burhanuddin mengatakan pihaknya menemukan dugaan tindak pidana korupsi setelah adanya fakta-fakta perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan.
"Ditemukannya fakta-fakta perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya," ujarnya.
Menurutnya, perkara tersebut pun kini sudah naik ke tahap penyidikan sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 14 Juli 2022.
"Berdasarkan fakta tersebut, perkara tersebut telah dinaikkan ke tahap penyidikan sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan No Print-39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 14 Juli 2022," ungkapnya.
Baca juga: Kejaksaan Agung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Tower Transmisi PLN
Sementara, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana menjelaskan posisi perkara dugaan tindak pidana korupsi tersebut.
Ia menyebut, pada tahun 2016 PLN memiliki kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran pekerjaan Rp 2.251.592.767.354
Namun, dalam pelaksanaannya PT PLN dan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (ASPATINDO) serta 14 penyedia pengadaan tower pada tahun 2016 telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan.
Akibatnya, kata Sumedana, diduga menimbulkan kerugian keuangan negara.
Sumedana pun membeberkan sejumlah fakta perbuatan melawan hukum, yakni pertama, dokumen perencanaan pengadaan tidak dibuat.
Baca juga: Pakar Hukum Nilai Kejagung Harus Berkolaborasi dengan Singapura, Buru Pemilik Duta Palma Group
Kedua, menggunakan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower, padahal seharusnya menggunakan produk DPT yang dibuat pada tahun 2016 namun pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat.
Ketiga, PT PLN (Persero) dalam proses pengadaan selalu mengakomodir permintaan dari ASPATINDO sehingga mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka, karena Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua ASPATINDO.
Keempat, PT Bukaka dan 13 penyedia Tower lainnya yang tergabung dalam ASPATINDO telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak (Oktober 2016-Oktober 2017) dengan realisasi pekerjaan sebesar 30 persen.
Baca juga: Komisi III DPR Nilai Kejagung Tunjukkan Komitmen Tinggi Tangani Kasus Kekerasan Seksual
Selanjutnya, pada periode November 2017 s/d Mei 2018 penyedia tower tetap melakukan pekerjaan pengadaan tower tanpa legal standing yang kondisi tersebut memaksa PT PLN (persero) melakukan addendum pekerjaan pada bulan Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun.
Kelima, PT PLN (persero) dan Penyedia melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9085 tower menjadi kurang lebih 10.000 set tower dan perpanjangan waktu pekerjaan sampai dengan Maret 2019, karena dengan alasan pekerjaan belum selesai.
Keenam, ditemukan tambahan alokasi sebanyak 3000 set tower di luar kontrak dan addendum.