Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sejarah Bendera Merah Putih, Terbuat dari Bahan Katun Halus dan Sempat Dipisah Jadi 2 Bagian

Berikut ini sejarah Bendera Merah Putih yang dijadikan sebagai identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penulis: Lanny Latifah
Editor: Arif Fajar Nasucha
zoom-in Sejarah Bendera Merah Putih, Terbuat dari Bahan Katun Halus dan Sempat Dipisah Jadi 2 Bagian
SURYA/PURWANTO
Pasukan Pengibar Bendera (PASKIBRAKA) mengibarkan bendera merah putih pada Upacara Kemerdekaan ke-77 RI di kawasan Tugu Balaikota Malang, Rabu (17/8/2022). Inilah sejarah Bendera Merah Putih yang terbuat dari bahan katun halus dan sempat dipisahkan jadi 2 bagian. 

TRIBUNNEWS.COM - Bendera dijadikan sebagai identitas sebuah negara.

Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Bendera Merah Putih.

Melansir cagarbudaya.kemdikbud.go.id, Bendera Merah Putih terbuat dari bahan katun halus (setara dengan jenis primissima untuk batik tulis halus), warna merah putih.

Warna asli merah bendera adalah merah serah yaitu merah jernih (bukan merah nyala, bukan merah tua, bukan merah muda, atau merah jambu).

Biasanya, bendera Merah Putih dikibarkan saat upacara hingga acara perayaan 17 Agustus.

Sejarah Bendera Merah Putih

Ilustrasi Bendera Merah Putih
Ilustrasi Bendera Merah Putih (Freepik)

Baca juga: Mengenal Fatmawati, Penjahit Bendera Merah Putih Pertama saat Proklamasi 17 Agustus 1945

Pada tanggal 7 September 1944 Dai Nippon menyiarkan kabar bahwa Indonesia diperkenankan untuk merdeka kemudian hari. Maka dari itu,Chuuoo Sangi In (badan yang membantu pemerintah pendudukan Jepang terdiri dari orang Jepang dan Indonesia) menyelenggarakan sidang tidak resmi pada tanggal 12 September 1944 yang dipimpin oleh Ir. Soekarno.

Berita Rekomendasi

Hal yang dibahas pada sidang tersebut adalah pengaturan pemakaian bendera dan lagu kebangsaan yang sama di seluruh Indonesia. Hasil dari sidang ini adalah pembentukan panitia bendera kebangsaan merah putih dan panitia lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Panitia bendera kebangsaan merah putih menggunakan warna merah dan warna putih sebagai simbol. Merah berarti berani dan putih berarti suci. Kedua warna ini sampai saat ini menjadi jati diri bangsa Indonesia.

Sementara itu, ukuran bendera ditetapkan sama dengan ukuran bendera Nippon yakni perbandingan antara panjang dan lebar tiga banding dua.

Panitia ini diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dengan anggota Puradireja, Dr. Poerbatjaraka, Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Mr. Moh. Yamin, dr. Radjiman Wedyodiningrat, Sanusi Pane, KH. Mas Mansyur, PA Soerjadiningrat, dan Prof. Dr. Soepomo.

Panitia lagu kebangsaan Indonesia Raya berkewajiban mempersatukan kata-kata dan melodi lagu. Panitia diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota Ki Hajar Dewantara, Sanusi Pane, Mr. Moh. Yamin, Kusbini, Mr. Koesoemo Oetojo, Mr. Ahmad Soebardjo, Mr. Sastro Moeljono, Mr. Samsoedin, Ny. Bintang Soedibjo, Machijar, Darmawijaya, dan Cornel Simanjuntak.

Atas permintaan Soekarno kepada Shimizu, kepala barisan propaganda Jepang (Sendenbu), Chaerul Basri diperintahkan mengambil kain dari gudang di Jalan Pintu Air untuk diantarkan ke Jalan Pegangsaan Nomor 56 Jakarta. Kain ini dijahit oleh Ibu Fatmawati (istri Presiden Soekarno) menjadi bendera.

Kemudian, bendera tersebut dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Jakarta oleh Latief Hendraningrat dan Suhud.

Pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri pindah ke Yogyakarta karena keamanan para pemimpin Republik Indonesia tidak terjamin di Jakarta. Bersamaan dengan perpindahan tersebut, Bendera Pusaka turut dibawa dan dikibarkan di Gedung Agung.

Baca juga: Fungsi dan Aturan Pengibaran Bendera Merah Putih Indonesia

Baca juga: Dasar Hukum Aturan Pemasangan Bendera Merah Putih Tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009

Ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, bendera pusaka sempat diselamatkan oleh Presiden Soekarno dan dipercayakan kepada ajudan Presiden yang bernama Husein Mutahar untuk menyelamatkan bendera itu. Husein Mutahar mengungsi dengan membawa bendera tersebut dan untuk alasan keamanan dari penyitaan Belanda, ia melepaskan benang jahitan bendera sehingga bagian merah dan putihnya terpisah, kemudian membawanya dalam dua tas terpisah.

Pertengahan Juni 1949, ketika berada dalam pengasingan di Bangka, Presiden Soekarno meminta kembali bendera pusaka kepada Husein Mutahar. Ia kemudian menjahit dan menyatukan kembali bendera pusaka dengan mengikuti lubang jahitannnya satu persatu. Bendera pusaka kemudian disamarkan dengan bungkusan kertas koran dan diserahkan kepada Soejono untuk dikembalikan kepada Presiden Soekarno di Bangka.

Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno bersama bendera pusaka tiba dengan selamat di Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka kembali dikibarkan di halaman depan Gedung Agung.

Kemudian pada tanggal 28 Desember 1949, sehari setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda di Den Haag, bendera pusaka disimpan di dalam sebuah peti berukir dan diterbangkan dari Yogyakarta ke Jakarta dengan pesawat Garuda Indonesia Airways.

Sejak tahun 1958, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, bendera tersebut ditetapkan sebagai Bendera Pusaka dan selalu dikibarkan setiap tahun pada tanggal 17 Agustus untuk memperingati Hari Kemerdekaan di depan Istana Merdeka.

Pada tahun 1967, setelah Presiden Soekarno digantikan oleh Presiden Soeharto, bendera pusaka masih dikibarkan. Namun, kondisi bendera sudah sangat rapuh.

Bendera pusaka terakhir dikibarkan di depan Istana Merdeka pada 17 Agustus 1968. Sejak saat itu, bendera pusaka tidak lagi dikibarkan dan digantikan dengan duplikatnya.

(Tribunnews.com/Latifah)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas