Wawancara Eksklusif Komjen (Purn) Susno Duadji: Saya Sering Menangkap dan Pernah Ditangkap Polisi
Berikut wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Mantan Kabareskrim Susno Duadji:
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kabareskrim Komjen (Purn) Susno Duadji mengakui sudah mengalami rasanya menangkap dan ditangkap polisi.
Pengalaman tersebut, menurutnya, tidak bisa dirasakan seluruh pejabat Kepolisian RI.
"Saya ini termasuk yang lengkap, kalau yang lain jadi Kabareskrim karena pintar tapi saya jadi polisi iya 35 tahun aktif dan menangkap orang sering, memeriksa orang sering," ucap Susno Duadji di kantor Tribun Network, Jakarta, Senin (22/8/2022).
Susno ikut dalam penyusunan sejumlah undang-undang termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pencucian uang.
Namun jenderal bintang 3 ini justru terseret kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat.
Baca juga: POPULER Nasional: Sosok yang Pimpin Sidang Kode Etik FS | Susno Duadji Diteror
"Tapi kemudian saya ditangkap dengan undang-undang itu juga. Jadi gak ada orang begitu, Makanya ini rekayasa seperti ini jangan sampai terulang," ungkapnya.
Selengkapnya wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Mantan Kabareskrim Susno Duadji:
Bapak ini punya pengalaman menangkap dan ditangkap polisi, bisa diceritakan?
Saya ini termasuk yang lengkap, kalau yang lain jadi Kabareskrim karena pintar tapi saya jadi polisi iya 35 tahun aktif dan kemudian menangkap orang sering, memeriksa orang sering, nahan orang sering.
Ikut di dalam penyusunan undang-undang saya juga ikut, saya mewakili Polri di dalam penyusunan undang-undang KPK.
Pencucian uang, RUU TNI ikut, banyak saya hampir 36 undang-undang.
Kemudian saya ditangkap dengan undang-undang itu juga.
Jadi gak ada orang begitu.
Saya ditangkap di bandara pernah, di tangkap di Bandung pernah.
Dikeluarin lagi dan ditangkap lagi.
Makanya ini rekayasa seperti ini jangan sampai terulang.
Itu karena saya pernah merasakan tidak enak, saya itu direkayasa karena korban saya dicopot dari jabatan dan dimasukkan dalam penjara.
Bintang 3 seperti saya sedang menjabat Kabareskrim itu saja bisa direkayasa.
Mungkin ada yang bertanya kok bisa, iya tentu bisa kan Pak Mahfud sendiri dalam satu kesempatan pernah bicara bahwa manakala polri, penuntut dalam hal ini jaksa, dan hakim sudah bersepakat ya jadilah itu barang.
Saya sudah ajukan kasasi tapi mana sampai 12 tahun tidak pernah diputus.
Mudah-mudahan Mahkamah Agung dengar, kalau mau diputus silakan misalnya mau dijatuhkan hukuman memperkuat pengadilan sebelumnya silakan, saya nggak dendam kok sama orang yang merekayasa perkara.
Yang penting publik tahu apa yang saya lakukan dan masih ada peradilan yang paling tinggi yaitu akhirat.
Jadi beberapa waktu lalu juga muncul satu fenomena bahwa perkara Pak FS melibatkan sekian banyak polisi lain, apakah ini semacam solidaritas korps atau apa?
Kalau saya katakan ini bukan semata-mata tidak profesional.
Bayangkan bintang satu, bintang dua, ilmunya sudah banyak, pengalaman banyak.
Persoalannya mereka yang tidak berwenang merusak TKP.
Jadi mereka memang sengaja merusak.
Tujuannya merusak apa, bukan untuk terungkap tetapi menutupi dan supaya menciptakan skenario baru.
Tapi skenario baru ini kalah sama skenario Ilahi, terbongkarnya di mana di Sungai Bahar Jambi.
Ini sengaja merusakan tempat kejadian untuk menutup kejadian sebenarnya.
Apakah fenomena ini semata-mata taat kepada atasan atau takut?
Pertama dia jelas takut, kedua kalau saya diancam dicopot jabatan.
Namun sebagian besar yang merusak TKP ada yang tidak takut, dia pegang dokumen, itulah yang mengalir keluar.
Kalau dalam dunia intelijen itu, dindingmu bisa bicara Ferdy Sambo, angin membawa berita.
Buktinya Pak Mahfud mengeluarkan statement dan itu A1 semua.
Dalam dunia intelijen, A1 itu artinya sumbernya benar, isunya benar, dan akurat.
Artinya ada yang masih berpikiran jernih.
Nah kemana dia bocorkan.
Ya kalau tidak disampaikan ke dalam itu juga bahaya untuk menyelamatkan polri, dan itu bagus terbongkar.
Polri ini selamat dari pada disalahgunakan.
Banyak orang bertanya apakah dokter pertama yang memeriksa jenazah Brigadir J tidak masuk dalam kategori obstruction of justice?
Saya ini bukan ahli kedokteran forensik tapi kami diajari walaupun tidak punya sertifikat untuk melakukan otopsi.
Kami diajari bahwa jarak tembak sekian, lukanya seperti apa, benda tumpul atau tajam bisa terlihat.
Tapi kami tidak bisa mengeluarkan visum et repertum yang mengatakan bahwa ini peluru, ini karena luka benda tajam.
Saya jujur belum baca hasil visum dari dokter yang pertama itu, saya tidak pernah lihat dan tidak ditunjukkan.
Yang patut dipertanyakan ada berapa banyak yang memeriksa visum pertama mayat brigadir J di RS Polri.
Kedua apakah dokter-dokter ini punya sertifikat untuk melakukan otopsi, punya pengalaman apa tidak.
Ketiga, katanya otopsi kedua mau keluar.
Kalau beda-beda tipis tidak apa-apa tapi kalau hasilnya beda jauh berarti otopsi pertama nggak beres.
Nah yang tidak beres ini kita patut menduga ini diminta, dipaksa atau bagaimana.
Makanya saya bilang dokter pertama otopsi itu harus diperiksa. Tapi saya yakin penyidik sudah memeriksa apalagi penyidik ini dari markas besar polri. (Tribun Network/Reynas Abdila)