VIDEO EKSKLUSIF Survei Charta Politika Perlihatkan 57 Persen Menolak Wacana Prabowo-Jokowi
survei Charta Politika menunjukkan 57 persen publik menolak wacana pencalonan pasangan Prabowo-Jokowi
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil survei Lembaga survei Charta Politika menunjukkan 57 persen publik menolak wacana pencalonan pasangan Calon Presiden (capres) Prabowo Subianto dengan Calon Wakil Presiden (cawapres) Joko Widodo (Jokowi).
Detailnya, sebanyak 57 persen publik menolak wacana ini, sementara 31,2 persen setuju, dan yang tidak tahu sebanyak 11,7 persen.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia (CPI) Yunarto Wijaya saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Kantor Tribunnews.com di Jakarta, Senin (26/9/2022).
"Secara faktual juga survei Charta Politika kemarin memperlihatkan, kita uji nih isunya sudah ramai ternyata 57 persen menolak, 31 persen setuju, sisanya belum menentukan pilihan," ujar Yunarto.
"Kalau maju pun kedua sosok ini (Prabowo-Jokowi) yang dikatakan bisa mencegah polarisasi artinya tidak diterima," jelasnya.
Selain itu Yunarto mengatakan secara empiris rupanya Partai Gerindra cenderung menolak wacana Prabowo-Jokowi.
Hal itu, kata dia, terlihat dari beberapa pernyataan kata Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad yang cenderung menolak.
"Kalau kita baca secara empiris juga kalau kita coba tafsirkan dari pernyataan misalnya Dasco ya Ketua Harian dari Gerindra cenderung juga menolak," kata Yunarto.
Yunarto juga menuturkan munculnya beberapa spanduk Prabowo-Jokowi di beberapa daerah dianggap Gerindra sebagai bentuk black campaign.
"Artinya mereka merasa dirugikan bukan diuntungkan situasi ini. Itu tafsiran saya dan spekulasi saya mengenai secara empiris ya," ujarnya.
Berikut wawancara lengkap Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia (CPI) Yunarto Wijaya :
Mas Toto bisa elaborasi bahwa ide pasangan Prabowo dan Jokowi agar tidak terjadi polarisasi seperti pilpres 2019?
Yang jelas ini situasi apa yang kita sebut open election 2024.
Open election adalah ketika incumbent tidak bisa maju kembali.
Artinya situasi lebih tidak bisa diperkirakan.
Ketika incumbent masih bisa maju kembali dulu 2009 Pak SBY, 2019 Pak Jokowi, biasanya orang akan cenderung berhati-hati untuk memunculkan ide pasangan karena biasanya incumbent akan kuat sekali.
Itu karena dia bekerja "lima tahun kampanye gratisan" kira-kira begitu.
Nah ini sudah mulai terlihat aura open election, jauh-jauh hari bahkan dari tahun lalu masih tiga tahun menjelang pemilu adanya pasang billboard dll.
Tapi dibanding 2009 jauh lebih complex karena saat ini muncul ide tiga periode, muncul isu perpanjangan periode karena situasi Covid-19, muncul isu yang terbaru kalau Pak Jokowi jadi Wakil Presiden pasangan salah satu calon yang lain.
Kenapa ini terjadi? karena memang tidak ada leterlek aturan turunan dari Pasal 7 UUD 1945 yang menjelaskan lebih lanjut apakah boleh atau tidak Presiden dua periode kemudian maju sebagai Wakil Presiden.
Kalau pun dicoba apakah setuju atau tidak, seharusnya Pak Jokowi menolak.
Karena ketika Pak Jokowi mendapatkan tawaran yang menguntungkan ketika berbicara tiga periode dan perpanjangan periode sudah ada kalimat eksplisit yang terekam di jejak digital bahwa Pak Jokowi menolak.
Kedua secara empiris kalau kita tafsirkan misalnya Dasco (Ketua Harian dari Gerindra) cenderung juga menolak karena spanduk-spanduk di daerah Prabowo-Jokowi sebagai bentuk black campaign. Artinya kan mereka merasa dirugikan bukan diuntungkan.
Bagaimana hasil uji sampel Charta Politika untuk peluang Prabowo-Jokowi?
Secara faktual juga Charta Politika kemarin memperlihatkan, kita uji nih isunya sudah ramai ternyata 57 persen menolak, 31 persen setuju, sisanya belum menentukan pilihan.
Kalau maju pun kedua sosok ini (Prabowo-Jokowi) yang dikatakan bisa mencegah polarisasi artinya tidak diterima.
Apa yang utarakan dari teman-teman Sekretariat Bersama (Sekber) ini jangan-jangan hanya perasaan saja, bukan merepresentasikan pendukung Pak Prabowo dan Pak Jokowi yang sesungguhnya.
Ngapain kalau kemudian sudah kontroversial lalu kemudian dikatakan sebagian pihak melanggar etik Pak Jokowi kalah pula kasian gitu kan Pak Jokowi.
Itu memperlihatkan belum ada satupun alasan konstitusional, alasan empiris, alasan dari partai pendukung Pak Prabowo dan Pak Jokowi, sampai bagaimana sikap publik yang mendukung gerakan ini.
Itu yang menurut saya perlu jadi catatan kritis.(TIM TRIBUN)