Capres dan Cawapres 2024 Hanya Mengandalkan Elektabilitas dan Kepopuleran, Peneliti: Itu Jadul!
Menurutnya Siti meningkatkan elektabilitas dan kepopuleran capres dan cawapres untuk raih kemenangan merupakan gaya lama alias jadul.
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rahmat W. Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Pusat Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional Siti Zuhro mengatakan bahwa kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024 tidak cukup hanya mengandalkan elektabilitas dan kepopuleran semata.
Menurutnya meningkatkan elektabilitas dan kepopuleran capres dan cawapres untuk raih kemenangan merupakan gaya lama alias jadul.
"Terus terang saja capres dan cawapres tidak cukup hanya lulus elektabilitas dan popularitasnya, karena itu sudah jadul," kata Siti di acara diskusi bertajuk Ngopi dari Sebrang Istana Utak-atik Tiket Capres, Jakarta Pusat, Minggu (23/10/2022).
Menurutnya capres dan cawapres harus memiliki standar lebih tinggi seperti membanggakan secara internasional.
"Maka dari itu kita butuh capres dan cawapres yang lebih tinggi dari itu membanggakan secara nasional dan internasional," sambungnya.
Menurut pengamatannya dalam pilpres yang paling menentukan yakini sosok calon presiden itu sendiri. Diyakininya seorang capres itu harus 'nendang' untuk bisa memenangkan kontestasi.
"Pelajaran dari pemilu-pemilu sebelumnya untuk penelitian saya, sosok calon presiden itu yang menentukan. Jadi kalau capresnya nggak nendang itu susah. Capres itu harus nendang," sambungnya.
Baca juga: Survei SMRC: Elektabilitas Ganjar dan Anies Meroket 1,5 Tahun Terakhir, Prabowo Cenderung Stagnan
Siti mencontohkan seperti misalnya pilpres sebelumnya di zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo. Untuk wakil presiden hanya perlu mendukung dengan pemilihan suara yang tinggi.
"Maka dari itu waktu SBY dipasangkan dengan Budiono sama-sama Jawa menang, tidak ada perkara lain. Begitu juga dengan Jokowi. Jadi untuk wakil presiden bisa menyempurnakan dengan pemilih suara yang tinggi," tutupnya.