Wamenkumham Ungkap 3 Tantangan Berat Dalam Menyusun RKUHP Kepada Mahasiswa di Palangkaraya
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej mengungkap tiga tantangan yang sangat berat dalam menyusun RKUHP
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, PALANGKARAYA - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej mengungkap tiga tantangan yang sangat berat dalam menyusun RKUHP kepada para mahasiswa Universitas Palangkaraya di Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah (Kalteng) pada Rabu (26/10/2022).
Bahkan pria yang akrab disapa Eddy itu menyebut tiga tantangan tersebut amat sangat berat bagi pemerintah maupun DPR.
Pertama, kata dia, adalah menyusun RKUHP di tengah bangsa yang multietnik, multireligi, multikultur seperti Indonesia.
Setiap isu di dalam RKUHP, kata dia, pasti menimbulkan kontroversi dan perdebatan.
Ia mencontohkan Belanda yang menurutnya hanya sebesar provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk sekitar 7 juta dan homogen, membutuhkan waktu 70 tahun untuk membentuk KUHP.
Di sisi lain, kata dia, luas Indonesia 1/8 dunia.
Baca juga: Wamenkumham Beberkan 5 Misi RKUHP Ke Mahasiswa di Palangka Raya: Dekolonisasi Hingga Modernisasi
"Jadi dengan kondisi kita yang multietnis, multireligi, dan multiculture tidak mudah untuk menyusun KUHP dan kita tidak akan menghasilkan KUHP yang sempurna, tidak akan mungkin," kata Eddy dalam acara Kumham Goes To Campus di Universitas Palangkaraya pada Rabu (26/10/2022).
"Pasti ada menimbulkan kontroversi dan kita akan mencari win-win solution dalam formulasi RKUHP," sambung dia.
Kedua, lanjut dia, harus diakui bersama bahwa hukum pidana bisa boleh dikatakan bidang hukum paling sial karena natur dari hukum pidana.
Hukum pidana, kata dia, di satu sisi lebih berorientasi pada negara.
Baca juga: Mahfud Sebut RKUHP Karya Anak Bangsa Disahkan Akhir Tahun Ini
Pidana sendiri, lanjut dia, bermakna nestapa yang diberikan oleh negara.
Dengan demikian, hukum pidana memang memposisikan negara tidak sederajat dengan warga negara.
Hal tersebut, kata dia, selalu mendapat kritik bahwa hukum pidana mengekang kebebasan, mengekang hak asasi manusia, dan sebagainya.
"Jadi naturnya hukum pidana ini yang membuat kita harus paham betul mengapa ada aturan-aturan yang begitu ketat yang akan diterapkan kepada warga negara," ucap dia.
Terakhir, kata dia, adalah perubahan pola pikir menuju paradigma hukum pidana modern.
Menurutnya hal tersebut menjadi sulit karena baik aparat penegak hukum dan terlebih rakyat selalu menginginkan proses hukum segera dan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku tindak pidana.
Dampaknya, kata dia, terhadap Kementerian Hukum dan HAM karena jumlah narapidana itu jauh melebihi kapasitas di mana kapasitas hanya 160 ribu orang sementara jumlah narapidana itu sudah 270 ribu.
"Jadi perubahan mind set masyarakat untuk lebih berorientasi pada keadilan restoratif ini, ini yang harus kita bangun bersama, tidak hanya aparat penegak hukum tapi yang lebih penting adalah masyarakat dan kita semua untuk memahami paradigma hukum pidana modern," kata Eddy.