Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ini Sejumlah Alasan RUU Daerah Kepulauan Harus Segera Dibahas dan Disahkan

RUU Daerah Kepulauan segera dibahas dan disahkan agar pemerintah daerah dapat dengan leluasa mengelola

Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Ini Sejumlah Alasan RUU Daerah Kepulauan Harus Segera Dibahas dan Disahkan
Istimewa
Working Group Discussion (WGD) RUU Daerah Kepulauan di Hotel Sultan Jakarta. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi berharap RUU Daerah Kepulauan segera dibahas dan disahkan agar pemerintah daerah dapat dengan leluasa mengelola sumber daya alam dan memajukan perekonomian

Diketahui, Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan kini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023

RUU ini memuat tiga hal pokok, yakni kewenangan mengelola wilayah, sistem pemerintahan, dan anggaran.

Di dalamnya juga tercantum tujuh sektor yang menjadi pokok pengelolaan di daerah berciri kepulauan.

Tujuh sektor itu adalah kelautan dan perikanan; perhubungan; energi dan sumber daya mineral; pendidikan tinggi; kesehatan; perdagangan antar-pulau; dan ketenagakerjaan.

"Kami tidak ingin yang muluk-muluk, kami hanya minta persamaan," kata Ali Mazi dalam acara Working Group Discussion (WGD) RUU Daerah Kepulauan di Hotel Sultan Jakarta, dalam keterangan yang diterima, Jumat (4/11/2022).

Menurut Ali Mazi, daerah kepulauan memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa.

Berita Rekomendasi

Apabila tidak dikelola dengan baik, dia melanjutkan, maka akan menjadi persoalan di kemudian hari.

Ali mencontohkan, tak sedikit daerah bekas pertambangan yang ada di daerah menjadi sumber bencana alam dan menyengsarakan masyarakat.

"Mereka meninggalkan jalan berlubang dan membuat kerusakan, tetapi yang menikmati hasilnya adalah pemerintah pusat dengan dana bagi hasil yang relatif kecil ke pemerintah daerah," kata dia.

Di lain pihak, Ali  melanjutkan, pemerintah daerah tak punya dana untuk memperbaiki kondisi tersebut lantaran pendapatan asli daerah dan dana transfer dari pemerintah pusat tidak mencukupi.

Karena itu, RUU Daerah Kepulauan ini, kata dia, dapat menjadi jawaban atas ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah berciri kepulauan.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Nono Sampono mengatakan, sudah lama RUU Daerah Kepulauan ini terkatung-katung.

"Padahal RUU ini merupakan desain hukum untuk menjawab berbagai persoalan, yakni ketertinggalan pembangunan nasional, kemiskinan, dan kesenjangan," katanya.

RUU Daerah Kepulauan, menurut dia, juga menjadi salah satu pendorong agar cita-cita Indonesia sebagai Poros Maritim dunia dapat terwujud.

Baca Selanjutnya: Ruu daerah kepulauan diharapkan dorong pembangunan di gugusan pulau

Untuk diketahui, RUU Daerah Kepulauan memiliki sejarah yang cukup panjang. Selama hampir 20 tahun, RUU yang memuat gagasan kesetaraan dan perlakuan adil di daerah berciri kepulauan, ini belum juga dibahas dan disahkan.

Pada masa kerja DPR periode 2014-2019, telah terbentuk panitia kerja RUU Daerah Kepulauan dan Presiden Joko Widodo telah memerintahkan tujuh kementerian untuk membahas rancangan undang-undang tersebut bersama DPR.

Ketujuh kementerian itu adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perhubungan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

"Hanya saja, pembahasan tidak berlanjut karena sejumlah kementerian tak menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Sejak itu, tiada lagi tindak lanjut atas RUU Daerah Kepulauan ini," kata Nono.

Adapun Asisten Deputi Koordinasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Syamsuddin menyampaikan alasan terhentinya pembahasan RUU tersebut.

"Karena hampir 75 persen muatan dalam rancangan RUU itu telah diatur dalam undang-undang yang ada," kata Syamsuddin.

Sejumlah undang-undang yang memuat unsur dalam RUU Daerah Kepulauan di antaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-Undang Cipta Kerja, dan sebagainya.

Soal muatan yang sama dalam RUU ini, menurut dia, dikhawatirkan menciptakan duplikasi dan tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Kemudian ada pula kekhawatiran RUU Daerah Kepulauan ini menyimpang dari prinsip dasar konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Ini barangkali yang sebaiknya menjadi bahan pertimbangan pembahasan lanjutan RUU Daerah Kepulauan," ujar Syamsuddin.

Syamsuddin melanjutkan, pada prinsipnya, pemerintah mendukung upaya menguatkan dan memajukan setiap daerah.

Apabila hendak mendorong RUU ini, Syamsuddin menyatakan, pemerintah terbuka untuk berdiskusi dengan perwakilan pemerintah daerah kepulauan guna membahas lebih detail.

"Kita bisa rapat untuk menyatukan pendapat tentang kelanjutan RUU Daerah Kepulauan ini," ujarnya.

Ihwal 75 persen muatan RUU Daerah Kepulauan sudah diatur dalam undang-undang lain, Ali Mazi mengatakan, kalaupun pengaturan bersinggungan, buktinya belum ada manfaat yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah berciri kepulauan.

"Kami ini kaya sumber daya alam, tetapi miskin. Kalau bicara mati, kami tidak akan mati. Kami ada jagung, ikan, dan banyak lagi sumber pangan, tetapi kalau bicara sekolah, kami gadaikan dulu harta yang ada. Artinya, terjadi ketidakadilan di sini." pungkas Ali.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas