Tangis Ayah Korban Kanjuruhan saat 2 Jenazah Anaknya Diautopsi, Minta Keadilan: Anak Saya Diracun
Ayah korban Tragedi Kanjuruhan, Devi Athok Yulifitri, tak kuasa menahan tangis saat melihat dua anaknya diautopsi, Sabtu (5/11/2022).
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Ayah korban Tragedi Kanjuruhan, Devi Athok Yulifitri, menangis histeris saat melihat dua anaknya diautopsi, Sabtu (5/11/2022).
Dua putrinya bernama Natasya Debi Ramadhani (16) dan Nayla Debi Anggraeni (13) menjadi korban meninggal dunia dalam tragedi kelamdi Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober lalu.
Sebagai informasi dua jenazah Aremanita tersebut dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Sukolilo, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang.
Devi Athok meminta kepada kepolisian dan pihak yang terkait dalam tragedi ini memberikan kejujuran dan keadilan atas kematian dua anaknya itu.
"Saya cuman kepingin kejujuran, keterbukaan, bahwa ada keadilan untuk anak saya Tasya dan Nayla," kata Devi, Sabtu (5/11/2022) dikutip dari youTube Metrotvnews.
Devi menduga kuat kedua putrinya meninggal dunia akibat keracunan gas air mata.
Baca juga: Jenazah Membiru, Autopsi Diharapkan Bisa Buka Tabir Penyebab Tewasnya Korban Tragedi Kanjuruhan
"Mereka dibantai, anak saya diracun. Wajahnya itu hitam-hitam, si Tasya itu keluar darah (bagian hidung), enggak kuat saya melihatnya."
"Si Lala (Nayla) keluar busa. Badannya enggak terlihat diinjak-injak cuma keluar darah," tutur Devi yang tak kuasa menahan tangis.
"Jangan dibohongi lagi, ini memang gas air mata," pungkasnya.
Diberitakan Surya Malang sebelumnya, autopsi kedua korban tragedi Kanjuruhan tersebut digelar sejak pukul 08.15 WIB.
Autopsi ini dilakukan oleh tim dokter forensik yang berjumlah delapan orang.
Mereka adalah anggota Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Cabang Jatim.
Sementara dalam autopsi yang dilakukan, ada dua tim yang melakukan pemantauan yakni Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dan Tim Gabungan Aremania (TGA).
Autopsi Diharap Bisa Buka Tabir Penyebab Tewasnya Korban