Kesaksian Sopir Ambulans di Sidang Bharada E, Lihat Jenazah Yosua Penuh Darah, Wajah Ditutup Masker
Sopir ambulans dari PT Bintang Medika Ahmad Syahrul Ramadhan mengungkapkan sederet fakta tentang kondisi jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sopir ambulans dari PT Bintang Medika Ahmad Syahrul Ramadhan mengungkapkan sederet fakta tentang kondisi jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Menurutnya, jenazah Brigadir J tertutup masker dan berlumuran darah saat dievakuasi pada 8 Juli 2022 silam.
Hal itu disampaikan Syahrul saat menjadi saksi untuk terdakwa Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, dan Kuat Ma'ruf di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (7/11/2022).
Baca juga: Reaksi Hakim Dengar Kesaksian Sopir Ambulans Jenazah Brigadir J Disuruh Tunggu di RS sampai Subuh
Dalam kesaksiannya Ahmad menceritakan bagaimana awal dirinya diminta mengevakuasi jenazah Yosua.
Ahmad mengaku ada telepon masuk sekitar pukul 7 malam dari orang tidak dikenal dan mengatakan membutuhkan layanan ambulans.
Sejak awal Ahmad sudah menaruh curiga diminta ke rumah Duren Tiga, Jakarta Selatan.
”Ada yang menelpon dari orang tidak dikenal membutuhkan layanan ambulans,” tutur Ahmad dalam sidang tersebut.
Baca juga: Bongkar Isi WhatsApp Ferdy Sambo Cs, Hakim Pertimbangkan Menghadirkan Pihak Meta Jadi Saksi
Tapi ia menyatakan telepon dari orang tidak dikenal adalah lazim.
Namun kecurigaannya muncul karena saat itu ia diminta membawa jenazah.
Padahal berdasarkan penugasannya selama ini, ia lebih sering diminta menjemput pasien sakit.
”Dibilang rasa curiga ada Yang Mulia. Kalau dari rasa kecurigaan saya pribadi, saya sudah menginsting kalau ada kejadian kematian,” katanya.
Baca juga: Kuasa Hukum Bharada E Sebut Saksi yang Dihadirkan Jaksa Hari ini Tak Berkaitan dengan Kliennya
Bila ada permintaan membawa jenazah, hal itu berdasarkan permintaan dari kepolisian yakni pihak Satlantas Jakarta Timur.
”Biasanya menjemput orang sakit Yang Mulia. Jarang disuruh jemput orang meninggal (jenazah) kecuali dari kepolisian,” ujarnya.
Setibanya di Duren Tiga, Ahmad melihat jenazah Brigadir Yosua berlumuran darah dengan wajah tertutup oleh masker berwarna hitam dan mengenakan kaos putih.
Ahmad melihat dada kiri Brigadir Yosua bolong akibat luka tembak. Ia pun meyakini ada luka tembak di badan Yosua.
"Tahu dari mana luka tembak?" tanya hakim.
Baca juga: Sopir Ambulans Akui Ada Anggota Polri Melarangnya Nyalakan Lampu Rotator saat Bawa Jasad Brigadir J
"Ada bolongan di dada sebelah kiri kalau tidak salah Yang Mulia," jawab Ahmad.
Hakim juga sempat mengkonfirmasi posisi jenazah saat Ahmad pertama melihatnya.
Menurut Ahmad, posisi Yosua dalam keadaan telentang dengan kaus yang sedikit terbuka.
"Masih pakai baju putih," ujar Ahmad. "Telentang, Yang Mulia," imbuhnya.
"Jenazah sudah di kantong?" tanya hakim.
Baca juga: Detik-detik Jenazah Brigadir J Dibawa ke RS Kramat Jati Versi Kesaksian Ahmad Sopir Ambulans
"Belum. Masih tergeletak berlumuran darah yang mulia," jawab Ahmad.
Foto Yosua sempat ditunjukkan di ruang sidang. Posisinya sedang dalam posisi telentang.
Sementara di sekitarnya terlihat genangan darah.
"Wajahnya ditutupi masker?" tanya hakim lagi. "Iya," jawab Ahmad.
"Warna hitam seperti ini?" tanya hakim .
"Iya yang mulia," jawab Ahmad.
Ahmad menceritakan Ia kemudian diminta tolong mengecek nadi Brigadir Yosua.
Dengan menggunakan sarung tangan karet, ia pun mengecek nadi di tangan kiri Brigadir Yosua. Namun denyut nadi sudah tak bisa dirasakan lagi.
"Saya disuruh salah satu anggota untuk cek nadinya. Saya cek nadi di leher dan tangan memang tidak ada Yang Mulia," imbuhnya.
Usai memastikan nadi Brigadir J sudah tidak ada, Ahmad bergegas mengambil kantong jenazah.
"Saya bilang izin pak sudah tidak ada. Lalu dibilang 'pasti mas?' Pasti pak. Lalu, dicek kembali sama bapak-bapak di lokasi lalu 'ya sudah mas minta tolong dibantu evakuasi', terus saya bilang izin pak saya ambil kantong jenazah," ujarnya.
Setelah itu Ahmad mengambil kantong jenazah di mobil ambulansnya.
Di sana ia ditanya polisi karena kantong jenazah yang dia bawa bertuliskan Korlantas Polri.
"Saya ditanya di kantong jenazah ada tulisan Korlantas Polri yang mulia, nah saya jelaskan izin pak saya sering tangani kecelakaan dari Satlantas Jakarta Timur, saya membantu untuk mengevakuasi kecelakaan atau TKP.
Oh iya iya, dari Satlantas Jakarta Timur, ya udah tolong dibantu," ucapnya.
Singkat cerita Ahmad memasukan jenazah Brigadir Yosua dengan dibantu tiga sampai empat orang.
Namun kaki jenazah harus dilepit oleh Syahrul karena tidak muat masuk ke dalam kantong jenazah.
"Lalu dimasukkan itu jenazah, karena kakinya terlalu panjang enggak muat di kantong jenazah saya, saya lepit kakinya sedikit Yang Mulia Biar supaya bisa masuk ke kantong jenazah. Lalu saya lepit, udah masuk ke kantong saya resleting lalu saya tarik sedikit kantongnya diangkat lalu saya ambil tandu yang saya bawa," ucapnya.
Ahmad kemudian mengevakuasi jenazah Brigadir Yosua ke Rumah Sakit (RS) Polri. Setibanya di RS Polri, Ahmad malah diarahkan petugas kepolisian untuk membawa jenazah Yosua ke Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Padahal, menurutnya, seharusnya jenazah langsung dibawa ke kamar jenazah/ruang forensik.
"Pas di RS enggak langsung ke forensik ke kamar jenazah, tapi ke IGD. Saya bertanya pak izin kok IGD dulu, biasanya kalau saya langsung ke kamar jenazah, forensik. 'Oh, saya juga enggak tahu mas ikuti perintah aja.' Oh baik," tutur Ahmad.
Mau tidak mau Ahmad menuju IGD rumah sakit yang berada di Kramat Jati, Jakarta Timur, tersebut.
Menurut dia, kondisi ruang IGD saat itu sedang ramai. Dia pun menyerahkan jenazah Yosua yang telah dibawanya dari rumah dinas eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo tersebut.
Setibanya di IGD, Ahmad ditanya petugas RS Polri perihal berapa jumlah korbannya dan ia pun bingung.
"Lalu saya ke IGD. Sampai IGD sudah ramai, saya buka pintu, datang dah tuh petugas RS Polri 'korbannya berapa orang?'. Waduh saya bingung, hanya satu," ujarnya.
Singkat cerita Ahmad menuju kamar jenazah bertemu dan diminta seorang anggota Provos untuk menurunkan jenazah.
"Saya langsung turunkan, berjalan ke kamar jenazah lalu saya pindahkan ke troli kamar jenazah," ucapnya.
Akhirnya, Ahmad lalu menaruh jenazah Brigadir J ke troli dan memarkir mobil.
Setelah itu ia pamit pulang. Namun Ahmad malah ditahan oleh seorang petugas yang tak dikenal namanya.
Ia pun menuruti arahan tersebut dan menunggu di dekat masjid rumah sakit.
Ketika merasa haus dan lapar hendak mencari makan-minum, Ahmad tidak diperkenankan.
Ahmad malah dibelikan sate dan minum oleh petugas tersebut.
"Saya bilang sama anggota di RS pak saya izin pamit, terus katanya 'sebentar dulu ya mas, tunggu dulu.' Saya tunggu di tempat masjid Yang Mulia di samping tembok sampai jam mau subuh," cerita Syahrul.
"Mau subuh saudara nunggu? Buset," tanya hakim. "Iya Yang Mulia. Pas saya mau ke depan, 'sudah mas di sini aja', terus saya bilang pak izin saya haus. Sembari menunggu saya dibelikan air dan sate," jawab dia.
"Kenapa saudara disuruh nunggu sampai subuh?" tanya hakim. "Enggak tahu," kata Ahmad.
Ia menuturkan dirinya baru diizinkan pulang setelah subuh. Ahmad pun tidak tahu-menahu apa yang terjadi di dalam rumah sakit hingga dirinya pulang di waktu subuh.
Ahmad juga menyatakan tidak menerima bayaran lebih selain biaya mobil ambulans dan cuci mobil.
Dalam kasus ini Richard, Ricky dan Kuat didakwa jaksa telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Tindak pidana itu dilakukan bersama-sama dengan eks Kadiv Propam Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi. Mereka didakwa melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.(tribun network/frs/riz/abd/igm/dod)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.