Pakar Hukum Tata Negara: Sinyal Jokowi ke Prabowo Soal Pilpres 2024 Melanggar Etik
Bivitri Susanti menyoroti dukungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto terkait Pilpres 2024.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyoroti dukungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto terkait Pilpres 2024.
Menurut Bivitri sinyal dukungan Jokowi kepada Prabowo dengan menyebut Prabowo dapat memenangkan Pilpres 2024 disebut melanggar etik.
Hal ini karena lontaran Jokowi tersebut menunjukkan semacam dukungan pada calon presiden berikutnya.
"Tentu saja sangat melanggar etik. Karena perkataannya jelas menunjukkan semacam endorsement pada calon presiden berikutnya," kata Bivitri, Selasa (08/11/2022).
Ia juga menambahkan, banyak respon dari elit partai yang mengatakan tindakan tersebut hanya sekedar basa-basi.
Namun, jelas Bivitri, di situ lah letak etik bagi penyelenggara negara.
Dalam berkomentar, bagi seorang penyelenggara negara, ada batas-batas etiknya.
Sebab ucapan ini bakal berpengaruh pada situasi politik bahkan kebijakan.
"Memang ada sebagian yg pasti akan bilang itu hanya basa basi. Tapi justru di situ letak etik bagi penyelenggara negara, dalam keseharian, dalam berkomentar, ada batas-batas etik yang tinggi," ujar Bivitri.
"Karena setiap perkataan seorang penyelenggara negara, apalagi presiden, bisa berpengaruh pada situasi politik, bahkan kebijakan," tambahnya.
Baca juga: Pengamat soal Jatah Prabowo: Presiden Jokowi Ingin Sebagai Salah Satu King Maker Pilpres 2024
Lebih lanjut, dalam hal perkataan Jokowi ke Prabowo, Bivitri menjelaskan hal tersebut bisa saja kelihatan remeh, tapi ada dua konteks makna di baliknya.
"Pertama dalam negosiasi politik yang sekarang ini tengah dilakukan. Kedua kebijakan yan mungkin harus atau akan diambil terkait dengan putusan MK mengenai menteri yang nyapres atau nyaleg," tegasnya.
Lebih lanjut, perkataan Jokowi ini dinilai seakan-akan Indonesia bukan lagi negara demokrasi lagi, tetapi monarki. Sebab, penguasa selanjutnya harus disetujui oleh penguasa yang sekarang.
Juga, tindakan ini seakan-akan menunjukkan pihaknya mau bergantian dalam menduduki kursi kepemimpinan.
"Karena Prabowo kan dulu rival jokowi, jadi ganti-gantian saja. Sangat elitis, hanya siapa di lingkaran itu yg bisa ganti menggantikan," jelas Bivitri.