Komnas Perempuan Soroti Peran Polisi dalam Penanganan Kasus Rudapaksa Eks Pegawai Kemenkop
Komnas HAM soroti peran polisi dalam penanganan kasus rudapaksa yang dialami mantan pegawai honorer Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyoroti peran polisi dalam penanganan kasus rudapaksa yang dialami mantan pegawai honorer Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) berinisial ND.
Dalam kasus dugaan rudapaksa ini, Komnas Perempuan menilai perlu adanya evaluasi bagi insitusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Hal itu dikarenakan penggunaan restorative justice dalam mediasi yang dianggap tidak tepat dalam kasus kekerasan seksual.
"Seharusnya polisi punya prinsip sejauh mana batasan kasus yang bisa dimediasi," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani usai acara focus group discussion bertajuk Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU TPKS pada Rabu (23/11/2022).
Terkait kasus ini, Komnas Perempuan sangat menyayangkan penggunaan restorative justice yang justru merugikan pihak korban.
"Jangan sampai semua kasus membuka ruang damai atas nama RJ (restorative justice)."
Terlebih jika Kepolisian benar-benar mendorong pihak korban untuk dinikahkan dengan seorang pelaku.
Menurut Tias, hal itu malah berpotensi menimbulkan kekerasan berlapis.
Oleh sebab itu, evaluasi internal kelembagaan pun merupakan sebuah keniscayaan bagi Polri dalam kasus ini.
"Perlu ada evaluasi ketika memang ini ditemukan, terbukti terjadi ada keterlibatan kepolisian dengan menikahkan korban dan pelaku dalam proses mediasi," katanya.
Evaluasi internal disebut Tias dapat dilakukan melalui jalur etik internal kelembagaan.
"Iya (jalur etik), karena jika itu terbukti melanggar etik di internal instusi, maka perlu ada langkah tegas."
Penggunaan jalur etik sebagai sanksi disebabkan tempus delicti atau waktu terjadinya peristiwa pada sebelum Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan.
Jika perstiwa pidana kekerasan seksual terjadi setelah UU TPKS disahkan, maka pihak yang terlibat menghalangi penanganan kasus dapat dipenjara maksimal lima tahun.