Bupati Bangkalan Abdul Latif Ditahan KPK, Diduga Terima Suap Rp5,3 Miliar, 5 Bawahan Jadi Tersangka
KPK menahan Bupati Bangkalan dan lima tersangka lainnya dalam kasus dugaan suap lelang jabatan.
Penulis: Nuryanti
Editor: Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Bupati Bangkalan, Abdul Latif Amin Imron, ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan suap lelang jabatan di Pemerintah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.
Selain Abdul Latif Amin Imron, KPK juga menahan lima tersangka lainnya.
Hal ini disampaikan Ketua KPK, Firli Bahuri, saat jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (8/12/2022) dini hari.
Adapun lima orang yang juga menjadi tersangka yakni Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Aparatur, Agus Eka Leandy; Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Wildan Yulianto; Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Achmad Mustaqim; Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Hosin Jamili; serta Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja, Salman Hidayat.
"Terkait kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan para tersangka, masing-masing selama 20 hari ke depan terhitung mulai tanggal 7 Desember 2022 sampai dengan 26 Desember 2022," kata Firli Bahuri.
Diduga Terima Suap Rp 5,3 Miliar
Dikutip dari Kompas.com, Bupati Bangkalan diduga menerima uang suap sebesar Rp 5,3 miliar.
Firli Bahuri menjelaskan, uang tersebut diduga bersumber dari lelang Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dan pengaturan proyek di seluruh dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangkalan.
“Jumlah uang yang diduga telah diterima Tersangka RALAI melalui orang kepercayaannya sejumlah sekitar Rp 5,3 miliar,” ungkapnya, Kamis.
Menurut Firli, dugaan lelang jabatan dimulai setelah Abdul Latif Amin terpilih menjadi Bupati Bangkalan periode 2018-2023.
Abdul Latif Amin memiliki kuasa untuk menentukan langsung Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengikuti seleksi jabatan.
Baca juga: Bupati Bangkalan Abdul Latif Gunakan Uang Suap untuk Survei Elektabilitas
Pada 2019-2022, Pemkab Bangkalan membuka seleksi untuk sejumlah JPT.
Termasuk dalam hal ini adalah promosi jabatan untuk eselon 3 dan 4.
Bupati Bangkalan lalu meminta commitment fee berupa uang kepada setiap ASN yang ingin lolos seleksi.
Posisi Strategis Dipatok Rp 150 Juta
Abdul Latif Amin mematok harga Rp 50 juta hingga Rp 150 juta kepada ASN yang ingin menduduki jabatan strategis di pemerintahannya.
ASN yang mengajukan diri dan sepakat untuk memberikan sejumlah uang, akan dipilih dan dinyatakan lulus oleh Abdul Latif Amin.
"Untuk dugaan besaran nilai komitmen fee tersebut dipatok mulai dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 150 juta yang teknis penyerahannya secara tunai melalui orang kepercayaan dari tersangka," jelas Firli, Kamis.
Baca juga: Bupati Bangkalan Abdul Latif Ditahan KPK Terkait Suap Lelang Jabatan, Bakal Tahun Baruan di Rutan
Adapun ASN yang sepakat untuk memberikan sejumlah uang yakni Agus Eka Leandy, Wildan Yulianto, Achmad Mustaqim, Hosin Jamili, dan Salman Hidayat.
Jumlah uang yang diduga telah diterima Bupati Bangkalan melalui orang kepercayaannya yakni sekira Rp 5,3 miliar.
Tak hanya dari kasus jual beli jabatan, suap tersebut juga diduga berasal dari fee proyek di Pemkab Bangkalan.
Diduga Gunakan Uang Suap untuk Survei Elektabilitas
Bupati Bangkalan diduga menggunakan sebagian uang suap yang diterimanya untuk keperluan survei elektabilitas.
Uang suap tersebut juga diduga digunakan untuk keperluan pribadinya.
“Diperuntukkan bagi keperluan pribadi, di antaranya untuk survei elektabilitas,” ungkap Firli, Kamis, dikutip dari Kompas.com.
Baca juga: Profil Abdul Latif, Bupati Bangkalan yang Ditangkap KPK Atas Kasus Dugaan Suap Lelang Jabatan
Karena perbuatannya, Abdul Latif Amin sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sementara itu, lima bawahannya disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(Tribunnews.com/Nuryanti/Ilham Rian Pratama) (Kompas.com/Syakirun Ni'am)