Rizal Malarangeng Nilai Kebijakan Pengendalian Harga Tak Tepat untuk Atasi Masalah Minyak Goreng
Rizal Malarangeng menilai kelangkaan minyak goreng yang terjadi selama periode Januari-Maret 2022 disebabkan kebijakan yang diambil pemerintah.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Staf Khusus Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Malarangeng menilai kelangkaan minyak goreng yang terjadi selama periode Januari-Maret 2022 disebabkan kebijakan yang diambil pemerintah.
Keputusan pemerintah untuk mengendalikan pasar melalui peraturan harga eceran tertinggi (HET) tidak tepat dilakukan untuk industri minyak goreng.
“Kerbijakan untuk mengendalikan harga tidak tepat dilakukan untuk pasar yang ekosistemnya tidak dikontrol oleh pemerintah, termasuk jalur distribusinya. Ini berbeda dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM seperti yang pernah saya alami. Harga BBM dapat dikendalikan karena didukung ekosistemnya, yaitu ada kontrol tunggal pemerintah melalui Pertamina, sedangkan untuk minyak goreng, pemainnya sangat beragam,” ujar Rizal saat bersaksi di sidang dugaan korupsi persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/12/2022).
Rizal menambahkan, pengendalian harga melalui HET yang jauh di bawah harga produksi memengaruhi pasokan karena produsen juga tidak ingin rugi.
Baca juga: Saksi Ahli Tak Bisa Simpulkan Ada Kerugian Perekonomian Negara dalam Perkara Minyak Goreng
Sementara dari segi permintaan, adanya HET membuat konsumen menganggap dapat membeli dalam jumlah banyak dengan pengeluaran yang sama sehingga mengakibatkan permintaan melonjak.
“Jadi menurut pengalaman saya, kebijakan yang paling tepat adalah melalui BLT (bantuan langsung tunai). Dalam hal ini, industri tidak dirugikan dan daya beli masyarakat tetap terjaga. Kebijakan BLT ini sekarang banyak diterapkan di dunia internasional untuk mengatasi krisis,” papar Rizal.
Dalam persidangan, Rizal juga menjelaskan mengenai alasan dan fungsi dari Tim Asistensi di Kementerian Perekonomian.
Menurut dia, Tim Asistensi sengaja dibentuk oleh Menko untuk mendapatkan advis-advis dari ahli-ahli tanpa melalui rantai birokrasi yang panjang.
Baca juga: Kasus Dugaan Korupsi Minyak Goreng: Ahli Akui Kelangkaan Terjadi karena Masalah Distribusi
Tim Asistensi bertugas memberikan rekomendasi kebijakan yang didukung oleh data dan analisis, tetapi penentuan kebijakan sepenuhnya berada di tangan Menteri.
Bahkan, rekomendasi yang diberikan Tim Asistensi acapkali tidak diikuti oleh Menteri.
“Staf Khusus dan Tim Asistensi memang dibentuk untuk memotong birokrasi, terutama Ketika Menko membutuhkan opsi-opsi maupun advis yang cepat. Bedanya, penugasan untuk Staf Khusus itu sifatnya general sedangkan Tim Asistensi itu lebih spesifik, tergantung dengan pengatahuan dan keahliannya,” jelas Rizal.
Rizal mengaku, baik Staf Khusus maupun Tim Asistensi kerap kali diminta oleh Menko Perekonomian untuk menjadi perwakilan sebagai mitra diskusi kementerian teknis di bawahnya, termasuk Kementerian Perdagangan.
Penunjukan sebagai mitra diskusi ini tidak pernah surat keputusan (SK) khusus.
“Tim Asistensi memang menjadi mediator, harus bergerak cepat dan kreatif. Rakyat akan diuntungkan jika dinamikanya tidak homogen dan monolitik, supaya ide yang diambil mencerminkan dinamika diskusi yang fleksibel. Jadi, terkait dengan peran Lin Che Wei sebagai mitra diskusi Menteri Perdagangan dalamm engatasi kelangkaan minyak goreng, itu adalah hal yang lumrah,” tutur Rizal.
Terakit dengan benefit, Rizal mengaku Tim Asistensi tidak mendapatkan gaji yang berasal dari APBN.
Apabila ada insentif, biasanya berasal dari dana hibah lembaga asing.
Meski demikian, hal yang paling berharga bagi Tim Asistensi adalah adanya kesempatan bahwa ide atau rekomendasinya bisa dijadikan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
“Jadi, tanggung jawab Tim Asistensi itu lebih terletak pada tanggung jawab moral dan intelektual. Sementara tanggung jawab secara legal dan politik tetap di tangan Menteri, karena dia yang menandatangani setiap peraturan kebijakan,” tandasnya.
Adapun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa lima terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) merugikan negara sejumlah Rp18.359.698.998.925 (Rp18,3 triliun).
Lima terdakwa dimaksud yakni ialah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI Indra Sari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
"Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp12.312.053.298.925," papar jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/8/2022).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.