Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Catatan Akhir Tahun Aliansi Perempuan Bangkit 2022, Ajukan 9 Tuntutan untuk Pemerintah

Dalam catatan Aliansi Perempuan Bangkit, pemerintah dan DPR terkesan lambat dalam membuat aturan terkait kelompok rentan di masyarakat.

Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Catatan Akhir Tahun Aliansi Perempuan Bangkit 2022, Ajukan 9 Tuntutan untuk Pemerintah
Warta Kota/henry lopulalan
Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Bangkit Menggugat berunjuk rasa di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (22/12/2019). Dalam aksinya tersebut mereka menuntut pemerintah segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang. Warta Kota/henry lopulalan 

TRIBUNNEWS.COM - Dalam perspektif UUD NKRI 1945, lembaga-lembaga negara di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif wajib mentaati konstitusi dan berkewajiban menjalankan konstitusi untuk mewujudkan keadilan sosial, kesetaraan gender dan ekologis sebagai cita kemerdekaan Indonesia.

Namun, beberapa tahun terakhir ini Aliansi Perempuan Bangkit, sebuah wadah bagi para aktivis dan advokat hak perempuan dari berbagai profesi dan bidang perhatian, mencermati bahwa citra negara hukum HAM dan Demokrasi itu pelaksanaannya semakin menjauh dari cita-cita kemerdekaan.

Kelompok marginal, masyarakat adat, buruh, tani, pekerja rumah tangga, kelompok disabilitas, lansia dan terutama perempuan dan anak, semakin tertinggal jauh di belakang sehingga janji dan komitmen pokok pemerintah Indonesia dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs yakni “leaving no one behind” makin diragukan mampu dicapai oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2030 nanti.

Pandemi Covid-19 dan segala variasinya semakin memperburuk kondisi kehidupan rakyat dengan bertambahnya jumlah kelompok miskin atau banyaknya buruh yang di-PHK dan kaum perempuan menderita paling banyak dari kondisi ini.

Sebaliknya di tengah Pandemi, jumlah orang kaya dan super kaya Indonesia malah bertambah (Kompas.com, 17 Juli 2022). 

Sebuah kontras yang menuntut penelitian lebih jauh mengapa ironi ini terjadi.

Yang jelas, UU nomor 1/2020 yang mengalihkan APBN untuk penanganan pandemi, lebih banyak menguntungkan penguasa dan pemilik modal, namun sedikit saja dinikmati oleh kelompok miskin yang kebijakannya lebih karitatif berupa bantuan sosial daripada memberdayakan masyarakat secara ekonomi, sosial, dan politik.

BERITA REKOMENDASI

Disinyalir juga bahwa banyak pejabat negara yang diuntungkan pula dari bisnis PCR dan vaksin.

Di tengah kesulitan hidup yang dihadapi masyarakat akibat struktur ekonomi yang timpang, kebijakan ekonomi yang tidak berpihak, antara lain terjadinya kenaikan BBM dan bahan pokok serta akibat pandemi berkepanjangan, pemerintah dan DPR malah mengeluarkan UU Cipta Kerja yang dikenal sebagai Omnibus Law, UU Pemindahan dan Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta UU Minerba yang lebih memfasilitasi kelompok pengusaha daripada memberdayakan masyarakat luas, khususnya masyarakat adat dan masyarakat terdampak pembangunan, masyarakat marginal, kaum buruh, tani, dan nelayan, serta mengancam keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam.

Pemerintah dan DPR bahkan tidak patuh kepada putusan MK yang memerintahkan agar tidak memberlakukan Omnibus Law dan dalam 2 tahun harus mengubahnya agar lebih partisipatif dalam proses nya dan memenuhi standar HAM dalam isi pasal-pasalnya.

Pemerintah dan DPR sangat cepat merespons dan membuat sebuah UU jika menguntungkan penguasa dan pemilik modal, namun sangat lamban jika berkaitan dengan kelompok rentan seperti pekerja rumah tangga (PRT) yang rancangan UU nya sudah diajukan oleh masyarakat sipil sejak 19 tahun yang lalu dan pada bulan Maret 2022 sudah disetujui Baleg DPR, namun belum juga diagendakan dalam sidang paripurna untuk dibahas.

Dalam melahirkan KUHP baru, pemerintah dan DPR meski menyatakan bahwa KUHP Nasional ini bermaksud menggantikan KUHP warisan pemerintah kolonial yang dianggap represif, namun dari segi asas pokok hukum pidana, yakni asas legalitas dan asas melindungi kepentingan umum, khususnya terkait dengan penghinaan terhadap presiden, lembaga negara, dan pejabat publik serta pengaturan moralitas, seksualitas, dan tubuh perempuan telah melanggar asas kepentingan umum tersebut.

Dengan memberlakukan asas living law (adat, budaya dan tradisi setempat) maka hak dan kebebasan berekspresi dan hak privasi menjadi sangat terancam.

Para pembentuk UU tampaknya mengadopsi ide pengaturan seksualitas dan moralitas masyarakat yang telah diadopsi oleh kurang lebih 420 Peraturan perundangan-undangan di tingkat daerah (perda) yang selama ini diabaikan begitu saja oleh pemerintah cq Menteri Dalam Negeri meski telah lama dikritik oleh banyak pihak sebagai melanggar konstitusi dan hukum nasional lainnya.

Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas