Kaleidoskop 2022: Lima 'Wakil Tuhan' Jadi Makelar Kasus, KPK Jerat Belasan Tersangka
Di tahun 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keranjingan menetapkan lima hakim sebagai tersangka korupsi.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tahun 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keranjingan menetapkan lima hakim sebagai tersangka korupsi.
Mereka ialah Hakim Agung Gazalba Saleh dan Hakim Agung Sudrajad Dimyati.
Kemudian Prasetio Nugroho selaku Hakim Yustisial/Panitera Pengganti pada Kamar Pidana dan asisten Gazalba, Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung (MA) Elly Tri Pangestu, dan Hakim Yustisial Edy Wibowo.
Lima "Wakil Tuhan" itu disinyalir terlibat pengurusan perkara di MA.
Mukadimah Mafia Kasus
Terbongkarnya mafia kasus di MA bermulai dari perselisihan di dalam tubuh Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana pada awal 2022.
Heryanto Tanaka selaku Debitur KSP Intidana melaporkan pengurus koperasi itu, Budiman Gandi Suparman, terkait dugaan pemalsuan akta.
Perkara itu lantar bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Jawa Tengah.
Heryanto didampingi pengacara bernama Yosep Parera dan Eko Suparno.
Majelis hakim menyatakan Budiman bebas dari jerat hukum, membuat Heryanto kalah.
Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke MA. Pada tahap inilah dugaan suap mulai dilakukan.
Heryanto menugaskan Yosep dan Eko untuk menemui PNS di Kepaniteraan MA bernama Desy Yustria.
Melalui Desy, Yosep dan Eko meminta putusan kasasi dikondisikan dengan kesepakatan pemberian uang sebesar 202.000 dolar Singapura atau Rp2,2 miliar.
Desy bukanlah hakim agung. Ia tidak bisa menentukan langsung isi putusan kasasi.
Desy kemudian mengajak staf Kepaniteraan MA, Nurmanto Akmal.
Baca juga: KPK Tambah Masa Penahanan Hakim Agung Sudrajad Dimyati Dkk 30 Hari
Akmal lantas menghubungi staf Gazalba Saleh bernama Redy Novarisza dan asisten Gazalba Saleh Prasetio Nugroho. Prasetio juga seorang panitera pengganti di MA.
Adapun Gazalba Saleh merupakan satu dari tiga hakim agung yang ditunjuk mengadili kasasi pidana KSP Intidana.
Selama proses kasasi itu berlangsung, orang-orang di MA tersebut diduga telah menerima suap dari Yosep dan Eko. Sumbernya berasal dari Heryanto Tanaka.
“Keinginan Heryanto, Yosep dan Eko terkait pengondisian putusan kasasi terpenuhi,” ujar Karyoto dalam suatu jumpa pers.
Setelah Budiman divonis 5 tahun penjara, Yosep dan Eko memenuhi janji mereka dengan membayar 202.000 dolar Singapura secara tunai.
Namun, uang tersebut belum sempat dibagi-bagikan. Desy, Akmal, Redhy, Prasetio, dan Gazalba Saleh masih merencanakan pembagian uang tersebut.
Suap hakim agung Gazalba Saleh ini bukanlah ironi tunggal yang harus diketahui publik. Sebab, Gazalba Saleh adalah hakim agung kedua yang skandalnya dibongkar KPK.
OTT Hakim Agung Sudrajad Dimyati
Skandal dugaan suap jual beli perkara di MA yang pertama kali terbongkar adalah kasasi perkara perdata KSP Intidana.
Jual beli perkara di peradilan itu terungkap setelah KPK berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap hakim yustisial, sejumlah PNS di MA, serta dua pengacara Intidana, Yosep dan Eko pada dini hari 22 September lalu.
Sebagaimana kasus Gazalba Saleh, kasus ini bermula dari gugatan perdata Heryanto Tanaka dan kawan-kawan ke Pengadilan Niaga pada PN Semarang, Januari lalu.
Perkara itu terdaftar dengan klasifikasi perdamaian 1/Pdt.Sus-Pailit-Pembatalan Perdamaian/2022/PN.Niaga Smg.
Didampingi pengacara Yosep Parera dan Eko Suparno, Heryanto meminta hakim menyatakan pihak KSP Intidana lalai memenuhi isi akta perdamaian.
Heryanto juga meminta KSP Intidana dinyatakan bangkrut dengan segala akibat hukumnya.
Hakim kemudian menyatakan menolak eksepsi KSP Intidana. Namun, majelis juga menolak permohonan para pemohon.
Tidak terima atas putusan tersebut, Heryanto dan rekan-rekannya mengajukan kasasi ke MA. Pada tahap inilah aksi suap menyuap dilakukan.
Yosep dan Eko diduga melakukan pertemuan dan berkomunikasi dengan beberapa pegawai Kepaniteraan di MA.
"Orang dalam" itu dinilai bisa menjembatani mereka dengan hakim agung yang bisa mengkondisikan isi putusan kasasi dengan perjanjian sejumlah uang.
Baca juga: Dua Hakim Agung Dijerat KPK, Pimpinan Mahkamah Agung Didesak Bersikap Jaga Marwah Peradilan
Adapun PNS MA yang membantu Yosep dan Eko adalah Desy Yustria. Ia kemudian mengajak seorang hakim yustisial atau Panitera Pengganti MA, Elly Tri Pangestu dan PNS di MA, Muhajir Habibie.
Ketiga orang itu diduga menjadi tangan panjang Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Ia merupakan anggota majelis yang mengadili kasasi perdata KSP Intidana.
Dalam putusannya, Sudrajad Dimyati dan hakim lainnya mengabulkan permohonan kasasi Heryanto Tanaka.
Mereka membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada PN Semarang. KSP Intidana dinyatakan lalai memenuhi isi akta perdamaian. Koperasi itu juga dinyatakan pailit atau bangkrut.
Adapun suap yang diberikan Yosep dan Eko sebesar 202.000 dolar Singapura atau sekitar Rp2,2 miliar.
KPK menduga Desi menerima Rp250 juta, Muhajir Habibie Rp850 juta, dan Elly sebesar Rp100 juta.
“Sudrajad Dimyati menerima sekitar sejumlah Rp800 juta yang penerimaannya melalui Elly,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam suatu konferensi pers.
Dari kedua kasus tersebut, yakni kasasi pidana dan perdata KSP Intidana, KPK menetapkan 13 orang tersangka.
Mereka adalah Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, hakim yustisial Elly Tri Pangestu dan Prasetio Nugroho, serta PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria.
Kemudian, sejumlah PNS di MA yakni, Albasri, Nuryanto Akmal, dan Muhajir Habibie, Staf Gazalba Saleh bernama Redhy Novarisza. Mereka ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.
Kemudian, Heryanto Tanaka dan rekannya bernama Ivan Dwi Kusuma Sujanto, Yosep Parera, dan Eko Suparno sebagai tersangka pemberi suap.
Terbongkarnya Perkara Hakim Edy Wibowo
Selang sembilan hari setelah Gazalba Saleh resmi ditahan, KPK membongkar dugaan jual beli perkara lainnya di MA.
KPK menahan Hakim Yustisial MA bernama Edy Wibowo. Namun, ia terjerat dalam kasus yang berbeda dengan Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati.
Edy diduga menerima suap Rp3,7 miliar terkait kasasi perkara perdata Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar (SKM).
Perkara ini bermula dari gugatan PT Mulya Husada Jaya (MHJ) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar.
Yayasan Rumah Sakit SKM digugat karena belum melunasi utang kepada PT MHJ. Perusahaan ini meminta Pengadilan Negeri Makassar menyatakan yayasan itu pailit dengan segala akibat hukumnya.
Permohonan PT MHJ kemudian dikabulkan. Hakim menyatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas nama Yayasan Rumah Sakit SKM berakhir.
“Menyatakan Termohon PKPU (Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa) Pailit dengan segala akibat hukumnya,” sebagaimana dikutip dari putusan itu.
Baca juga: KPK Disebut Lakukan Praktik Arogansi Institusi dalam Penahanan Hakim Agung Gazalba Saleh
Keberatan atas putusan ini, Ketua Yayasan Rumah Sakit SKM, Wahyudi Hardi mengajukan permohonan kasasi ke MA.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, Wahyudi diduga mendekati dua PNS di MA bernama Muhajir Habibie dan Albasri pada Agustus lalu.
Ia meminta proses kasasi Yayasan Rumah Sakit SKM dikawal. Wahyudi kemudian bersepakat memberikan sejumlah uang untuk mengkondisikan isi putusan kasasi.
Menurut Firli, uang sebesar Rp3,7 miliar itu diberikan secara bertahap.
“Setelah uang diberikan maka putusan kasasi yang diinginkan Wahyudi Hardi dikabulkan dan isi putusan menyatakan RS Sandi Karsa Makassar tidak dinyatakan pailit,” ucap Firli.
Dengan bertambahnya Edy Wibowo, jumlah tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA menjadi 14 orang.