Banyak Pihak Tolak Perppu Cipta Kerja, Politikus PDIP: Semua Masukan Pasti Dipertimbangkan
Politisi PDIP, Hendrawan Supratikno, angkat bicara perihal banyak pihak yang menolak Perppu Cipta Kerja.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBINNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, angkat bicara perihal banyak pihak yang menolak Perppu Cipta Kerja.
Diketahui, satu diantaranya yakni Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, yang menuntut Pemerintah agar seharusnya menerbitkan Perppu Pembatalan Omnibus Law, bukan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Menanggapi hal tersebut, Hendrawan menyebut hal itu merupakan masukan yang pasti menjadi bahan pertimbangan DPR RI.
"Semua masukan, apalagi dari Serikat Pekerja yang jelas-jelas nasibnya akan terdampak, pasti dipertimbangkan," kata Hendrawan, saat dihubungi, Selasa (3/1/2023).
Kemudian, politikus senior PDIP itu mengatakan, dalam persoalan terkait pekerja harus dikompromikan.
Dimana melalui kompromi tersebut ditemukan hasil yang saling menguntungkan.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara Kritik Perppu Cipta Kerja yang Diterbitkan Jokowi
"Dalam soal pekerja, memang harus dicari kompromi yang saling menguntungkan (win-win)," katanya.
Sebelumnya, Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menuntut Pemerintah untuk menerbitkan Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang (UU) Cipta Kerja.
Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menilai, Perppu Pembatalan itu yang dibutuhkan rakyat Indonesia saat ini.
"Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia menilai bahwa yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia saat ini adalah Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja," kata Mirah, dalam keterangan pers tertulis, Sabtu (31/12/2022).
Mirah kemudian menjelaskan, ada dua alasan perlunya Perppu Pembatalan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Yakni alasan formil dan materiil.
Terkait alasan formil, Mirah menjelaskan, karena Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 telah memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan kewajiban kepada Pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun.
Selain itu, lanjut Mirah, Mahkamah Konstitusi juga menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.