Cecar Ahli dalam Sidang, Kubu Arif Rahman Arifin Malah Kena 'Sentil' Majelis Hakim
Mendengar pertanyaan dari Junaedi, Ketua Majelis Hakim Ahmad Suhel meminta agar pertanyaan langsung menyinggung ke masalah pokok.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penasihat hukum terdakwa Arif Rahman Arifin kena 'sentil' majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam sidang lanjutan perkara dugaan perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Brigadir J, Kamis (12/1/2023).
Hal itu didasari karena kubu Arif Rahman melayangkan pertanyaan kepada ahli pidana Effendy Saragih yang dihadirkan jaksa penuntut umum dalam sidang terdakwa Hendra Kurniawan hanya berkutat pada teori.
Dalam sidang, kuasa hukum Arif Rahman, Junaedi Saibih menanyakan perihal hubungan antara Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan Budapest Convention perihal perjanjian internasional terkait kejahatan siber.
"Lalu saya bertanya berkaitan dengan UU ITE, tahun berapa saudara tahu?" tanya Junaedi saat sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (12/1/2023).
"Saya pikir semua orang tahu, UU ITE itu dibuat tahun 2008 dan direvisi," jawab Effendy
"Saudara mempelajari UU ITE itu, ada juga memperhatikan konvensi Budapest?" tanya lagi Junaedi.
"Saya tidak tahu itu apa, silahkan saja apa yang mau ditanya," jawab Effendy.
Baca juga: Eks Staf Pribadi Ferdy Sambo Ungkap Ada Ancaman Psikis Setelah Dirinya Lihat Rekaman CCTV Duren Tiga
Mendengar pertanyaan dari Junaedi, Ketua Majelis Hakim Ahmad Suhel meminta agar pertanyaan langsung menyinggung ke masalah pokok.
Sebab jika merujuk pada teori, dinilai Hakim Suhel memerlukan waktu lama untuk membuka buku kembali.
"Langsung ditanya ini ajalah. Karena kalau ditanyakan seperti itu, itu bersifat umum sekali. Makanya langsung aja, yang diinikan saja terkait dengan pasalnya, kalau bicara teori-teori itu mesti buka buku lagi," kata Hakim Suhel.
"Saya pun kalau ditanyakan pasal sekian itu juga gak ngerti juga saya. Walaupun udah ini juga kerjaan saya. Gak begitu, langsung saja lah," sambungnya.
Hakim Suhel menegaskan, suatu pertanyaan yang dilayangkan dalam mengungkap fakta di persidangan haruslah yang sesuai dengan apa yang ingin diungkap.
Bukan untuk seakan melakukan uji pengetahuan kepada saksi termasuk ahli.
"Ya kalau ditanya seperti itu kesimpulannya 'ini bukan ahli ini ditanya seperti ini aja gak tahu'. Kan jadi seperti itu kan, jangan menciptakan itu," tegas Hakim Suhel.
Terlebih, pada pertanyaan yang dapat menggiring opini masyarakat untuk meragukan keterangan dari ahli.
Padahal, pertanyaan tersebut tidak masuk dalam pokok perkara berkenaan kapasitas Effendy selaku ahli pidana.
"Enggak nanti orang akan menilai seperti itu jadinya, silahkan sajalah langsung ke titik persoalan nya aja, terkait yang disebutkan tadi. Ini banyak persoalan yang didasari teori hukum yang anda sebutkan tadi. Tahu gak dia, langsung pendapat saudara yang mau angkat apa. Gitu aja langsung," tegas Hakim Suhel.
Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.