Pledoi Ferdy Sambo: Kebahagiaan Berganti Suram, Sepi, dan Gelap
Ferdy Sambo mengaku masih optimistis ada keadilan dirinya walaupun hanya setitik nadir.
Editor: Erik S
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lirih suara terdakwa Ferdy Sambo terdengar saat membacakan pledoi atau nota pembelaan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (24/1/2023).
Sambo memberikan judul pledoinya ‘Pembelaan yang Sia-sia’ atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Baca juga: Ferdy Sambo Klaim Tak Punya Masalah dengan ADC dan ART Sebelum Brigadir J Ditembak Bharada E
Eks Kadiv Propam Polri itu mengaku masih optimistis ada keadilan dirinya walaupun hanya setitik nadir.
"Tidak dapat dibayangkan saya dan keluarga terus menjalin kehidupan sebagai seorang manusia dan juga sebagai masyarakat dengan berbagai tuduhan keji yang melekat sepanjang hidup kami," kata Sambo di hadapan majelis hakim.
Sambo melanjutkan dirinya tidak boleh berhenti menantikan keadilan meskipun sudah dalam kondisi amat terpuruk.
Menurutnya, harapan keadilan itu pada akhirnya akan bermuara pada kebijaksanaan majelis hakim dalam putusan vonisnya.
“Istri, keluarga khususnya anak-anak dengan penuh kasih dan kesabaran tidak pernah berhenti
untuk menguatkan dan meyakinkan bahwa harapan di pengadilan masih ada walaupun hanya setitik saja," sambungnya.
Di kursi pesanita, Sambo juga menceritakan dirinya telah ditahan selama 165 hari dalam kasus
pembunuhan Brigadir J.
Baca juga: Sempat Sindir Perwira Tinggi Polri, Ferdy Sambo Disebut Bakal Melawan Jika Hakim Jatuhkan Vonis Mati
Sambo pun mengungkapkan bahwa dirinya telah kehilangan kemerdekaannya sebagai manusia.
"Hari ini tepat 165 hari saya berada dalam tahanan untuk menjalani pemeriksaan perkara ini. Berada dalam tahanan berarti kehilangan kemerdekaan dalam hidup sebagai manusia yang selama ini saya nikmati, jauh dari berbagai fasilitas, kehilangan kehangatan keluarga, sahabat dan handaitolan," kata Sambo.
Dia menambahkan dirinya kehilangan kebahagiaannya sebagai manusia dari yang telah dirasakan saat belum tersandung kasus pembunuhan berencana.
"Semua hakikat kebahagiaan dalam kehidupan manusia yang sebelumnya saya rasakan sungguh telah sirna berganti menjadi suram, sepi, dan gelap," jelas Sambo.
Lebih lanjut, Sambo menambahkan bahwa dirinya pun lebih banyak merenungi tentang kehidupan selama di dalam tahanan.
Baca juga: Pakar Hukum Pidana Sebut Isi Pleidoi Ferdy Sambo Arahkan Pembunuhan Brigadir J Cuma Aksi Spontan
Dia tidak pernah terbayang hidupnya terperosok dalam kasus tersebut.
"Di dalam jeruji tahanan yang sempit saya terus merenungi betapa rapuhnya kehidupan saya sebagai manusia, tak pernah terbayangkan jika sebelumnya kehidupan saya yang begitu terhormat dalam sekejap terperosok dalam nestapa dan kesulitan yang tidak terperikan," ungkap Sambo.
Sambo mengaku darahnya terasa mendidih seusai mendengar pengakuan istrinya, Putri
Candrawathi dilecehkan Brigadir J di rumahnya di Magelang, Jawa Tengah pada 7 Juli 2022 lalu.
Dia tidak kuasa menahan emosinya apalagi mendengar istrinya bercerita peristiwa pelecehan
seksual sambil menangis.
"Pada tanggal 8 Juli 2022, istri saya yang terkasih Putri Candrawathi tiba dari Magelang dan
menyampaikan bahwa dirinya telah diperkosa oleh almarhum Yosua sehari sebelumnya di rumah kami di Magelang," kata Sambo.
Baca juga: Sudah Dapat Hukuman Sosial dari Publik, Ferdy Sambo Minta Hakim Adil Memutus Perkara
Sambo menurutkan bahwa harkat dan martabatnya terasa terinjak-injak usai mendengar kejadian tersebut.
Dia tak pernah membayangkan istrinya bisa dilecehkan oleh ajudannya sendiri.
"Tidak ada kata-kata yang dapat saya ungkapkan saat itu, dunia serasa berhenti berputar, darah saya mendidih, hati saya bergejolak, otak saya kusut membayangkan semua cerita itu," ungkap Sambo.
"Membayangkan harkat dan martabat saya sebagai seorang laki-laki, seorang suami yang telah
dihempaskan dan diinjak-injak, juga membayangkan bagaimana kami harus menghadapi ini,
menjelaskannya di hadapan wajah anak- anak kami, juga bertemu para anggota bawahan dan semua kolega kami," ungkapnya.
Saat itu, Sambo menuturkan bahwa sang istri meminta agar kasus pelecehan seksual itu tidak
diceritakan kepada siapa pun. Sebab, Putri Candrawathi mengaku malu dengan kejadian tersebut.
"Dalam pembicaraan yang terasa dingin dan singkat tersebut, istri saya Putri Candrawathi mengiba agar aib yang menimpa keluarga kami tidak perlu disampaikan kepada orang lain, istri saya begitu malu, ia tidak akan sanggup menatap wajah orang lain yang tau bahwa ia telah dinodai," ungkap Sambo.
Baca juga: Bacakan Pleidoi, Ferdy Sambo: Kiranya Tuhan Mengampuni Saya
Lebih lanjut, Sambo menjelaskan bahwa Putri Candrawathi pun meminta agar persoalan tersebut diselesaikan dengan baik-baik.
Sebab sebelumnya, istrinya juga telah menyampaikan langsung kepada Brigadir J agar resign dari pekerjaannya sebagai ajudan.
"Permintaan yang kemudian saya ikuti, lantas saya memintanya masuk ke dalam kamar sementara saya berdiam diri di ruang keluarga dengan hati dan pikiran yang kacau berantakan," tukasnya.
Di sisi lain, Sambo menambahkan penyesalan memanglah kerap datang belakangan.
"Demikianlah penyesalan kerap tiba belakangan, tertinggal oleh amarah dan murka yang
mendahului," tukasnya.
Skenario Dibuat Dadakan
Setelah Brigadir J terkapar ditembak oleh Bharada Richard Eliezer, Sambo langsung membuat
skenario tembak-menambak.
Skenario baku tembak antaranggota polisi itu diakui Sambo dibuat spontan berkat pengalamannya di bidang reserse.
Baca juga: Lewat Pleidoi, Sambo Pamer Prestasi di Polri: 6 Pin Emas Kapolri dan Anugerah Bintang dari Presiden
"Sebagai seorang anggota polisi yang berpengalaman sebagai penyidik, maka sesaat setelah
peristiwa penembakan, dengan cepat saya dapat menggunakan pengetahuan dan pengalaman saya untuk mengatasi keadaan," katanya membacakan pleidoi.
Dia pun menjelaskan bahwa ide skenario itu muncul saat melihat senjata api (senpi) yang terselip di pinggang Bigadir J.
"Maka saya segera mecocokkan situasi yang terjadi dengan cerita yang laik," ujar Sambo.
Sebagai penyidik Polri berpengalaman, imajinasinya pun langsung membayangkan skenario tembak-menembak.
Dia lantas mengambil senpi yang terselip di pinggang Brigadir J.
"Imajinasi saya bekerja, dan segera saya mengambil senjata HS dari pinggang Yosua,
menggenggamnya dan menembakkan ke dinding di atas tangga,"ujar Sambo.
Kemudian dia segera menempelkan senpi tersebut ke tangan Brigadir J memantapkan
skenarionya.
Baca juga: 3 Pengakuan Ferdy Sambo Soal Detik-detik Penembakan Brigadir J, Tak Perintahkan Bharada E Tembak
"Saya menggenggamkan senjata tersebut ketangan Yosua dan kemudian menembakkannya ke
dinding atas tivi di ruang tengah rumah Duren Tiga 46,” kata Sambo.
Selanjutnya dia segera keluar mencari ajudannya yang lain, Prayogi memanggil ambulans.
Sesudah itu, dia memutuskan mengatasi keadaan dengan melindungi Richard.
"Saya begitu panik, namun harus segera memutuskan apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi keadaan tersebut terutama untuk melindungi Richard Eliezer pasca terjadinya peristiwa penembakan,” tukasnya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa Ferdy Sambo pidana seumur hidup atas kasus
pembunuhan yang terjadi di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 8 Juli 2022.
Dalam kasus ini, JPU meyakini Sambo bersalah dalam kasus pembunuhan yang membuat Brigadir J tewas dalam kondisi tertembak.
Baca juga: Bela Ajudannya, Ferdy Sambo: Ricky Rizal Tak Setuju Backup Saya
Perbuatan Sambo pun juga telah memenuhi rumusan perbuatan pidana.
"Kami Penuntut Umum menuntut mohon agar majelis hakim yang memeriksa dan memutuskan
menyatakan Ferdy Sambo secara terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana telah terbukti melakukan pembunuhan berencana," ujar JPU saat membacakan surat penuntutan di PN Jakarta Selatan, Selasa (17/1/2023).
Atas hal tersebut, JPU menuntut agar Majelis Hakim PN Jakarta Selatan untuk menyatakan Ferdy
Sambo terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana dalam pembunuhan Brigadir J.
"Tidak ditemukan alasan pembenar maupun pemaaf, sehingga terdakwa Ferdy Sambo dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana," jelas JPU.
Akibat perbuatannya itu, JPU pun menuntut Ferdy Sambo agar dijatuhkan pidana seumur hidup
penjara.
Dia dinilai melanggar pasal 340 juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP. (Tribun Network/Reynas Abdila)