RUU PPRT 19 Tahun Tak Kunjung Disahkan, Serikat Buruh NU Berikan 7 Tuntutan
FTPI Sarbumusi NU mengapresiasi Pemerintah mengawal Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Federasi Transportasi, Pendidikan dan Informal Sarikat Buruh Muslimin Indonesia NU (FTPI Sarbumusi NU) Fika Taufiqurrohman mengapresiasi Pemerintah mengawal Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang selama 19 tahun belum kunjung disahkan.
“Kami mengapresiasi pemerintah bersedia mengawal RUU PPRT namun terdapat 7 tuntutan kami agar dapat diakomodir dalam RUU PPRT tersebut pada saat pembahasan di Gedung Senayan (DPR). Pertama, RUU PPRT harus selaras dengan Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan Yang Layak bagi PRT,” kata Fika kepada wartawan, Rabu (25/1/2023).
FTPI Sarbumusi NU menuntut RUU PPRT mengatur Upah Minimum Kabupaten (UMK).
“Kedua, perlu diatur upah PRT minimal sesuai standar UMK bukan hanya sekedar kesepakatan antara PRT dengan pemberi kerja," katanya.
Menurut dia, upah PRT penting diatur mengingat negara-negara lain telah menerapkan upah minimum PRT.
Sedangkan upah PRT di Indonesia dirasa terlalu kecil.
Ketiga, PRT berhak mengatur kesepakatan kerja dengan pemberi kerja sesuai upah yang diterima.
"Sebagai tambahan, PRT berhak memperoleh THR sebesar 1 kali upah bulanan. Ketiga, RUU PPRT mengatur pembatasan waktu kerja, beban kerja, istirahat harian, hari libur, cuti sakit, dan cuti liburan. Apabila PRT bekerja melebihi batas waktu yang telah ditentukan, maka PRT berhak memperoleh uang tambahan,” katanya.
Fika menilai, bahwa perlindungan sosial bagi PRT merupakan suatu keniscayaan.
Pemberi kerja berkewajiban memberikan perlindungan sosial kepada PRT.
“Keempat, PRT perlu memperoleh perlindungan sosial, jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan), jaminan ketenagakerjaan (BPJS TK). Pemberi kerja berkewajiban membayar iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan PRT,” ucap Fika.
Untuk meminimalisir tindakan kekerasan, diskriminasi, pelecehan, perendahan profesi, dan tidak dibayarnya upah maupun jaminan sosial PRT, FTPI Sarbumusi NU berharap agar RUU PPRT mengatur kewenangan pengawasan oleh pemerintah dan sanksi tegas kepada penyalur dan pemberi kerja PRT.
“Kelima, untuk mengantisipasi tindakan penyalur dan pemberi kerja PRT yang nakal, maka perlu diatur ketentuan pengawasan yang ketat oleh pemerintah dan sanksi yang tegas agar dapat memberikan perlindungan PRT dan memberikan efek jera kepada penyalur dan pemberi kerja PRT,” jelas Fika.
Usia PRT perlu dibatasi minimal berusia 18 tahun.
Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan skill dan melakukan upaya sertipikasi profesi PRT sehingga PRT dapat bekerja secara baik, kompetitif dan kompeten.
“Keenam, RUU PPRT perlu membatasi usia PRT minimal 18 tahun. Ketujuh, Pemerintah melalui Kemenaker berkewajiban meningkatkan skill dan kompetensi PRT di Balai Latihan Kerja. Selain itu, Kemenaker dapat bekerjasama dengan BNSP dan LSP dalam mensertipikasi profesi PRT. Apabila hal tersebut dilakukan, maka keberpihakan pemerintah atas nasib PRT bukan isapan jempol belaka,” jelas Fika.