Pekerja Anak Perlu Jadi Perhatian, Rentan Terjerat Persoalan Sosial
Untuk menyelesaikan masalah pendidikan yang bersifat persisten ini, keterlibatan, dukungan kerjasama semua pihak sangat dibutuhkan
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Keberadaan pekerja anak dan iddleness di Indonesia perlu jadi perhatian semua kalangan karena rentan terjerat persoalan sosial.
Hasil kajian Asa Dewantara menemukan 92 dari 1.000 anak usia 7-12 tahun aktif bekerja atau menjadi pekerja anak.
Sebanyak 6,83 persen dari pekerja anak tersebut tinggal di daerah perdesaan.
Sementara 19 dari 1000 anak berusia 16-18 tahun tidak aktif (idle) dan 58,2 persen diantaranya tinggal di pedesaan.
Mereka tidak memiliki kegiatan yang sifatnya produktif, seperti bekerja, bersekolah, mengikuti kursus keterampilan ataupun mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Direktur Eksekutif Asa Dewantara, Dr. Abdul Malik Gismar, jika tidak dicarikan solusi, kelompok ini rawan terlibat dalam persoalan sosial.
Baca juga: Kemnaker Tarik 143.456 Pekerja Anak yang Dipaksa Bekerja dari Rentang Tahun 2008 Sampai 2022
"Seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pornografi, terpapar paham radikalisme dan terorisme, dan sebagainya," ungkap Malik pada keterangan resmi, Senin (30/1/2023).
Ketua Dewan Pengarah Asa Dewantara, Dr. Haidar Bagir menyatakan bahwa keberhasilan para pemangku kepentingan dalam mengatasi persolan pendidikan sangat bergantung pada solusi yang diberikan.
Solusi ini akan efektif dan berdampak bila didasari pemahaman yang baik terhadap akar masalah pendidikan.
Di sinilah diperlukan kajian dan penelitian terkait isu-isu strategis pendidikan, khususnya kebutuhan dan persoalan anak-anak miskin dalam mengakses pendidikan.
Untuk menyelesaikan masalah pendidikan yang bersifat persisten ini, keterlibatan, dukungan kerjasama semua pihak sangat dibutuhkan.
Persoalan akses dan kualitas pendidikan yang dihadapi punya ukuran besar.
Sementara para pemangku kepentingan yang punya kepedulian dan kontribusi terhadap persoalan tersebut ibarat lilliput yang ukurannya kecil.
Mereka punya kapasitas dan sumberdaya terbatas yang tidak mungkin bisa dihadapi sendirian.
Pemangku kepentingan pendidikan perlu memperbanyak mitra dan jaringan serta berkolaborasi dan bergotong royong untuk menumbangkannya.
Pihaknya pun berharap hasil kajian ini bisa dijadikan sebagai advokasi kebijakan terkait permasalahan di atas.
"Hasil kajian ini bisa digunakan untuk melakukan advokasi kebijakan berbasis data (evidence based policy)," tutupnya.