Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jelang Pemilu 2024, Gus Yahya Tegaskan NU Tak Terlibat Politik Praktis

Yahya Cholil Staquf, atau akrab disapa Gus Yahya, menyatakan bahwa pihaknya tidak terlibat politik praktis menjelang Pemilu 2024.

Penulis: Naufal Lanten
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Jelang Pemilu 2024, Gus Yahya Tegaskan NU Tak Terlibat Politik Praktis
Tribunnews.com/Gita Irawan
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. Jelang Pemilu 2024, Gus Yahya Tegaskan NU Tak Terlibat Politik Praktis 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf, atau akrab disapa Gus Yahya, menyatakan bahwa pihaknya tidak terlibat politik praktis menjelang Pemilu 2024.

Hal ini disampaikannya setelah melaksanakan acara Ngopi Bareng Gus Yahya dengan Pemred Media Nasional dan Koresponden Asing di Plaza PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2023).

Adapun keputusan NU tak terlibat dalam politik praktis ini sebagaimana hasil dari Muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984 silam.

“Keputusan muktamar ke-27, tahun 1984, di Situbondo pada waktu itu mengatakan bahwa NU melepas diri dari politik praktis,” kata Gus Yahya

“Artinya sebagai organisasi secara institusional tidak boleh terlibat di dalam politik praktis,” lanjut dia.

Gus Yahya lantas menyinggung makna politik praktis pada masa orde baru, yang diartikan sebagai politik kekuasaan.

Atas dasar itu lah akhirnya NU memutuskan untuk tidak terlibat dalam berbagai kontestasi politik dalam bentuk apapun, khususnya Pemilu.

Berita Rekomendasi

Kendati demikian, kata dia, NU harus tetap hadir untuk mengaspirasikan suara masyarakat.

“Kalau ada hal-hal merupakan aspirasi yang harus disampaikan kepada struktur politik pemerintah, DPR atau yang lain maka NU akan melakukannya melalui saluran-saluran yang tidak menimbulkan akibat memposisikan NU sebagai kubu kekuasaan,” ucap Gus Yahya.

Di sisi lain, sambung dia, jika NU membuat artikulasi publik soal politik, maka hal itu semata-mata bertujuan kepada ketuhanan hingga pendidikan.

“Tidak boleh semacam membauat tekanan politik tekanan power kepada pihak mana pun, ndak bisa. karena NU bukan pihak. kalau soal ini,” kata Gus Yahya.

Mengutip artikel Tribunnews.com bertajuk Memahami Khittah NU Secara Jernih Hasil Muktamar Situbondo dan Upaya “Penyelewengan Narasi" yang ditulis oleh KH. Imam Jazuli, Lc, menyebutkan bahwa rumusan Khittah NU hasil Keputusan Muktamar XXVII Nomor 02/MNU-NU/1984 sejatinya sangat "strategis", andai tidak disalahpahami. 

Warga Nahdliyyin mendapat arahan politis praktis dari para pendahulu.

Putusan Muktamar 27 tahun 1984 menyediakan satu subbab khusus tentang politik dan kehidupan bernegara. 

Dalam keterangannya dikatakan bahwa NU secara sadar mengambil "posisi aktif" dalam proses perjuangan mencapai dan memperjuangkan kemerdekaan, serta "ikut aktif" dalam penyusunan UUD 1945. 

Keberadaan NU senantiasa "menyatukan diri" dengan perjuangan bangsa, menempatkan NU dan warganya "selalu aktif" mengambil bagian dalam "pembangunan bangsa" menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT (Khittah NU dan Khidmah Nahdlatul Ulama, Pati: Majma' Buhuts An-Nahdliyah, 2014: 48-49).

NU itu punya banyak fungsi. NU dalam berjuang untuk memakmurkan masyarakat dan menegakkan keadilan adalah NU yang sedang menjalankan fungsinya sebagai organisasi kemasyarakatan. 

NU juga punya fungsi keagamaan yang mengusung prinsip persaudaraan, toleransi, kebersamaan, dan berdampingan dengan warga negara lain yang beda keyakinan. 

Baca juga: Gus Yahya Tegaskan NU Tidak akan Mengusung Calon Presiden Maupun Wakil Presiden di Pilpres 2024

NU juga punya fungsi pendidikan yang bertujuan membuat warga negara sadar hak dan kewajibannya pada bangsa dan negara  (hlm. 49). 

Ada banyak fungsi, dan satu fungsi tidak boleh meninggalkan fungsi lain, terutama fungsi politik.

Artinya, NU bisa manifes ke dalam banyak rupa yang sifatnya fungsional. Ketika NU menjalankan fungsinya sebagai ormas keagamaan, ia beda dengan saat menjalankan fungsi sosial maupun fungsi edukasi. 

Tiga fungsi ini (keagamaan, sosial, pendidikan) membentuk satu kesatuan sistem yang menubuh dalam diri NU. 

Ketika tidak memahami bahwa tiga fungsi ini berbeda walaupun saling topang-menopang maka kita juga akan gagal memahami fungsi NU yang paling sensitif, yaitu: fungsi politik.

Fungsi politik NU berbeda dari tiga fungsi sebelumnya. Dikatakan bahwa NU sebagai Jam'iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun (hlm. 49). 

Hal ini sudah jelas bahwa NU tidak mau mengikat diri dengan partai politik manapun "kala itu," seperti PPP, Golkar dan PDI. Bahkan, hari ini NU juga tidak bisa berafiliasi pada tiga partai politik tersebut.

Pengalaman memisahkan diri dari partai manapun di tahun 1984 dapat dipahami sebagai puncak kekalahan NU di panggung pertarungan politik kekuasaan. 

Tahun 1984 adalah tahun paling luka, paling perih, paling sedih bagi NU. 

Demi menjaga eksistensi dan keutuhannya, NU memilih strategi memilih keluar dari parpol manapun, untuk rehat sejenak. 

Karena sebelumnya betul-betul dibuat seperti bola pingpong, baik oleh Partai Masyumi tahun 1952  maupun oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1982.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas