MK Tolak Sahkan Nikah Beda Agama, MUI: Keputusan yang Menggembirakan, Masyarakat Hidup Tenang
MUI mengapresiasi keputusan MK yang menolak untuk mengesahkan gugatan pernikahan beda agama. Hal ini menurutnya menggembirakan dan menenangkan publik.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Garudea Prabawati
Terakhir, pernikahan beda agama juga akan berdampak kepada psikis suami-istri tersebut karena ditakutkan anaknya akan tumbuh berkembang tidak sesuai dengan keimanan dan keyakinan yang diinginkannya.
"Jadi kesimpulannya nikah beda agama lebih besar mudharatnya dari pada manfaatnya. Tidak hanya bagi dirinya tapi juga bagi sang anak dan keluarganya," tukas Anwar.
Sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman memutuskan menolak secara keseluruhan uji materi terkait pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan.
“Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya, amar putusan mengnadili menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman diiringi ketukan palu mengesahkan.
Ia mengatakan bahwa Mahkamah telah memberikan sejumlah penilaian terhadap pasal yang diajukan oleh pemohon, sehingga MK dapat mengadili permohonan ini.
Selain itu, pemohon dalam perkara ini dinyatakan memiliki kedudukan hukum. Namun pada penilaian ketiga, pokok permohonan dinyatakan tidak berlasan menurut hukum.
Adapun dalam putusan ini terdapat dua Hakim MK yang memiliki pandangan berbeda terkait Undang-Undang Perkawinan ini, di antaranya Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic PF.
Untuk diketahui, perkara ini mulanya dimohonkan oleh Ramos Petege. Ramos merupakan penganut agama Katolik yang tak bisa menikahi pasangannya yang beragama Islam.
E Ramos Petege mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia merupakan seorang warga beragama Katolik yang sebelumnya gagal menikahi kekasihnya lantaran beragama Islam.
Baca juga: MUI Apresiasi MK Tolak Sahkan Pernikahan Beda Agama: MK Tetap Menjadi Guardian of Constitution
Dalam gugatannya, Ramos Petege menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.
Gugatan itu tercatat di laman MK dengan nomor 24/PUU-XX/2022.
Menurut Ramos Petege, syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974 memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan.
Namun, UU tidak memberikan pengaturan jika perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.
"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki pemohon, sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodasi negara," kata Ramos Petege dalam gugatan yang diajukan ke MK pada 8 Februari 2022 lalu.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Naufal Lanten)
Artikel lain terkait UU Perkawinan