Kepala BKKBN Beberkan Tantangan yang Dihadapi Dalam Penurunan Angka Stunting
Tantangan penurunan angka stunting menurut BKKBN adalah mindset masyarakat
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Presiden RI Joko Widodo targetkan prevalensi stunting bisa berada di angka 14 persen pada tahun 2024.
Terkait hal ini, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr.(HC). dr. Hasto Wardoyo, SP.OG ungkapkan ada tantangan yang dihadapi dalam penurunan angka stunting.
Baca juga: Di Depan Megawati hingga Menkes, Eri Cahyadi Beber Penanganan Stunting Hingga Jadi Terendah Nasional
Menurut Hasto tantangan terbesar adalah mindset masyarakat.
"Tantangan kita itu, mindset. Contoh begini, sanitasi itu karena mindset, kebiasaan.
Ada biasanya buang air besar di sungai di beberapa daerah," ungkapnya saat dihubungi Tribunnews, Sabtu (18/2/2023).
Ia pun menemukan lantai rumah yang masih beralaskan tanah.
Padahal, sebagian masyarakat sebenarnya bisa melapisi dengan sesuatu sehingga rumah menjadi lebih sehat.
"Kemudian sering ada kita lihat kredit sepeda motor bagus, tapi rumahnya itu lantai tanah. Rumah itu penting, tapi tidak diutamakan," katanya lagi. .
Baca juga: Edukasi Seribu Orang Bidan Demi Intervensi Penurunan Angka Stunting
Rumah yang kotor bisa berisiko menimbulkan diare yang bisa menjadi faktor risiko stunting..
Termasuk air bersih dan kebiasaan buang air besar.
Mindset yang kedua adalah pola makan.
Sebagian orangtua ada yang hanya memberikan fast food pada anak tanpa melengkapi dengan protein hewani.
"Misalkan anaknya nangis sedikit, minta fast food. Kadang ada mie instan, cilok, tapi tidak disertai dengan protein hewani. Pola makan sekarang banyak dipengaruhi iklan, tapi belum tentu mengandung protein hewani," tutur Hasto.
Kemudian tantangan terakhir adalah mindset tentang reproduksi.
Baca juga: Angka Stunting di Indonesia Tidak Merata, Ini Penyebabnya
"Seperti di NTB kawin lari masih cukup banyak. Ini kan karena budaya, kemudian pemahaman tentang reproduksi. Jadi kawin di usia muda masih dianggap tidak apa-apa," kata Hasto menambahkan.
Selain itu masih ada pemikiran dari masyarakat yang berpikir kehamilan dengan jarak dekat tidak menjadi masalah.
Belum lagi beberapa orangtua yang tidak memberikan ASI eksklusif selama dua tahun penuh.
Baca juga: Kepala BKKBN Ungkap 3 Provinsi di Jawa Alami Penurunan Stunting Secara Signifikan
Beberapa tantangan di atas kata Hasto nyatanya tidak dihadapi oleh masyarakat pedesaan atau kelompok yang berpendidikan rendah.
"Ini tidak hanya orang yang tidak berpendidikan tinggal di pelosok. Orang berpendidikan menengah ke atas saja (masih) salah mindset nya," pungkas Hasto.