Dilema Hakim Perempuan: Antara Tugas Domestik dan Tanggung Jawab Kedinasan
Dari 178 hakim perempuan di peradilan umum yang mengikuti survei, masih ada yang tak memenuhi panggilan fit and proper test.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Culture, budaya Indonesia mempunyai kecenderungan bahwa pengasuhan dan pendidikan anak di bawah umur ada pada ibu, sehingga hakim perempuan berpijak pada dua kaki."
Analisa itu disampaikan oleh Hakim Agung perempuan, Nani Indrawati dalam sebuah acara bertajuk Hakim Perempuan dan Peningkatan Keberagaman di Peradilan.
Bukan tanpa alasan, hasil survei yang dilakukan Mahkamah Agung pada tahun ini cukup menggambarkan minimnya representasi kepemimpinn perempuan di lembaga peradilan Indonesia.
Dari 178 hakim perempuan di peradilan umum yang mengikuti survei, masih ada yang tak memenuhi panggilan fit and proper test.
Totalnya ada 10 atau senilai 5,26 persen yang enggan memenuhi panggilan fit and proper test karena memang tidak ingin menjadi pimpinan.
Kemudian ada 2 dari 62 hakim perempuan di peradilan agama yang menolak untuk mengikuti fit and proper test.
Sementara di pengadilan tata usaha negara, terdapat 2 dari 48 atau 4,16 persen yang tidak memenuhi panggilan fit and proper test.
"Kemudian di peradilan militer ada 4 orang, tapi semuanya memenuhi panggilan untuk fit and proper test," ujar Nani Indrawati pada Jumat (14/4/2023).
Dari data yang tersaji itu, Nani melihat masih adanya kesenjangan.
Kesenjangan itu cederung timbul karena adanya tantangan lebih bagi hakim perempuan. Termasuk di antaranya, budaya Indonesia yang masih cenderung membebankan urusan domestik kepada perempuan.
Dari situlah tercipta dilema bagi hakim perempuan, antara tugas domestik atau tanggung jawab kedinasan. Terlebih jika ditugaskan jauh dari tempat tinggal keluarga.
Baca juga: Mahkamah Agung Ungkap Hanya 6 Persen Hakim Perempuan Jadi Ketua Pengadilan Tinggi
"Untuk mereka, hakim perempuan yang menikah dan mempunyai anak, tentu tidak dapat melaksanakan dua tugas itu secara optimal ketika harus bertugas yang jauh dari tempat tinggal keluarganya," katanya.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Mahkamah Agung tengah menyusun berbagai kebijakan. Satu di antara beberapa yang dipertimbangkan, yaitu penetapan kuota peserta fit and proper test bagi perempuan.
"Sebagai contoh, jalan keluar yang bisa dipertimbangkan di antaranya apakah perlu ditetapkan kuota peserta FPT perempuan dalam setap proes pengisian jabatan pimpinan pengadilan," ujar Nani.