Cegah Disinformasi Pemilu, Perludem: Penyelenggara Wajib Yakinkan Publik dan Respons Cepat Isu
Tren persoalan disinformasi mulai terjadi pada pesta demokrasi tahun 2014, kemudian Pilkada 2017, dan Pemilu Serentak 2019.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan tren disinformasi tak menutup kemungkinan terjadi pada Pemilu Serentak 2024 mendatang.
Berkenaan dengan itu penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu dapat meningkatkan responsnya terhadap isu yang berkembang di publik. Respons cepat tersebut bisa jadi salah satu cara meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu dan pemilu itu sendiri.
Hal ini disampaikan Direktur Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dalam diskusi publik secara daring bertajuk 'Kolaborasi Lindungi Pemilu dari Ancaman Disinformasi' pada Senin (17/4/2023).
"Penyelenggara pemilu perlu meyakinkan publik bahwa mereka bekerja secara berintegritas sesuai prinsip penyelenggaraan pemilu," katanya.
Pasalnya kata Khoirunnisa, jika isu yang sudah viral lamban direspons oleh pihak yang berwenang menjawab, maka isu tersebut bisa berkembang terus di publik dan berujung sudah di tahap sulit ditangkal.
"Tak kalah penting meningkatkan kepecayaan publik, misalnya kalau ada disinformasi bisa langsung direspons, karena yang namanya diinformasi kalau sudah viral itu sulit menangkalnya," kata Khoirunnisa.
Perludem sebelumnya menyebut tak menutup kemungkinan kembali terjadi pergeseran ancaman disinformasi pada tahun 2024. Hal ini berkaca dari pengalaman pemilu tahun 2014 dan 2019 lalu.
Perludem menerangkan bahwa tren persoalan disinformasi mulai terjadi pada pesta demokrasi tahun 2014, kemudian Pilkada 2017, dan Pemilu Serentak 2019.
Baca juga: Perludem: Tren Disinformasi Mulai Terjadi Sejak 2014, Tak Tutup Kemungkinan Terulang di 2024
Adapun bentuk disinformasi pada tahun 2014 punya tujuan untuk mengubah opini publik agar pilihan politik mereka berubah. Sehingga bentuk disinformasinya menyerang antar peserta pemilu.
Namun memasuki tahun 2019 bentuk disinformasi itu mulai menyerang penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu. Bentuknya seperti tata cara proses pemilu, serangan terhadap isu surat suara, hingga isu saat pencoblosan di TPS.
"Kalau 2019 itu sudah mulai menyerang penyelenggara, baik punya KPU maupun Bawaslunya, terkait tata cara proses pemilunya, tadi soal surat suara, dan bagaimana memilih di TPS," ungkap Khoirunnisa.