Soal Survei LSI, Setara Institute Sebut Narasi Intoleransi Dipungut Negara Bukan untuk Diatasi
ia menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak sungguh-sungguh bekerja terkait pentingnya pencegahan intoleransi.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani merespons terkait temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) soal 4 dari 10 orang setuju berperang di negara lain untuk membela agama.
Ismail memandang, temuan survei LSI tersebut menjadi tugas yang sangat serius.
Sebab, ia menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak sungguh-sungguh bekerja terkait pentingnya pencegahan intoleransi.
Ia menjelaskan, sejumlah tokoh diangkat oleh Presiden Jokowi pada periode kedua masa kepemimpinannya untuk menangani permasalahan terkait intoleransi.
"Ini PR serius sekali menurut saya. Dalam 10 tahun terakhir, Pak Jokowi sesungguhnya adaptif atau adopsi gagasan narasi soal pentingnya pencegahan intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Tapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh bekerja," kata Ismail Hasani, dalam rilis temuan LSI di Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2023).
"Kita ingat betul apalagi di periode ke 2, Pak Jokowi bilang, saya angkat saudara Mahfud MD, saya angkat saudara Tito Karnavian untuk menangani intoleransi. Saya angkat Fachrul Razi sebagai menteri agama juga untuk mencegah intoleransi, radikalisme," ucapnya.
Menurutnya, kerja ketiga tokoh publik itu tidak ada.
"Tapi sebenarnya kerja orang-orang ini enggak ada. Jadi dipungut oleh negara," ucapnya.
Menurutnya, cara-cara penunjukkan sejumlah tokoh negara tidak benar-benar bertujuan untuk mengatasi permasalahan terkait intoleransi.
"Narasi toleransi, intoleransi, radikalisme dipungut oleh negara, tapi bukan ditujukan sepenuh-penuhnya untuk diatasi. Dia menjadi, ya kalau kritiknya adalah instrumen pembenaran orang-orang yang dikehendaki presiden," ungkap Ismail.
Sebelumnya, Plt. Sekretaris Balitbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia Arskal Salim merespon hasil survei LSI 4 dari 10 orang setuju berperang di negera lain untuk membela agama.
Menurut Arskal dari 4 pertanyaan yang ditanyakan kepada responden. Melihat hasil survei 4 dari 10 orang setuju berperang di negera lain untuk membela agama, respon responden terlihat inkonsisten dengan jawaban lainnya.
"Ada hal beberapa poin yang menurut saya problematik dan membutuhkan diskusi lebih lanjut. Misalnya tadi disebutkan sekitar 4 dari 10 orang menyatakan siap mau pergi perang untuk membela umat seagama," kata Arskal menanggapi hasil survei LSI di Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Menurut Arskal angka tersebut terlihat cukup besar berada di angka sekitar 40 persen.
Baca juga: Kepala BNPT: Lebih dari 120 Negara Terpapar Virus Intoleransi, Radikal dan Terorisme
"Ini besar juga 4 dari 10 berarti 40 persen kalau digeneralisir seperti itu. Ini pengaruhnya karena dinamika konflik yang ada di luar negeri sana apakah di Afganistan, Palestina, atau karena ada ISIS dan seterusnya," sambungnya.
Ia melanjutkan atau ada faktor-faktor internal seperti dalam negeri di Poso dan tempat-tempat lain. Ketika peristiwa Ambon juga cukup banyak yang mau datang ke Ambon untuk membela umat seagamanya.
"Yang jadi perhatian saya dari survei ada empat pertanyaan, jawaban pertanyaan saya melihat inkonsisten. Kalau orang mau pergi untuk membela umat seagama di luar. Kalau dikaitkan dengan tiga pertanyaan lainnya seperti tidak nyambung, harusnya juga besar," kata Arskal.
"Kalau mau sejauh itu mereka mau berangkat untuk berperang membela umat beragama. Yang dekat seperti ini jadi seperti anomali," tegasnya.
Adapun sebelumnya Survei LSI terbaru pada diseminasi temuan survei nasional sikap publik atas kekerasan ekstrem, toleransi dan kehidupan beragama di Indonesia.
Menyatakan yang paling berbeda jawaban responden dari 4 pertanyaan, bahwa 4 dari 10 orang setuju berperang di negara lain untuk membela agama.
Adapun pada surveinya LSI menanyakan pertanyaan kepada responden dengan wawancara tatap muka. Dilakukan oversample di 4 wilayah yakni wilayah DKI Jakarta+Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Masing-masing wilayah dibagi 600 responden, sehingga total sample yang dianalisis pada laporan LSI sebanyak 3.090 responden.
Pada pertanyaan yang ditanyakan kepada responden pada pernyataan ikut berperang di negara lain untuk membela umat agama saya yang dianiaya.
"Yang setuju pada pertanyaan ini sangat setuju 5 persen, setuju 31 persen, kalau kita total 36 setuju. Ada lebih dari 50 persen menyatakan tidak setuju," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan pada paparannya, Kamis (4/5/2023).
Kemudian pada pertanyaan melakukan pembalasan terhadap anggota kelompok yang menyerang agama saya.
"Yang setuju sekitar 15 persen, yang tidak setuju mayoritas lebih dari 75 persen," sambungnya.
Lalu untuk pertanyaan mendukung organisasi yang memperjuangkan agama saya walaupun terkadang organisasi tersebut melanggar hukum.
"Itu yang setuju 12 persen, yang tidak setuju mayoritas lebih dari 74 persen," lanjutnya.
Sementara itu pada pertanyaan mendukung organisasi yang memperjuangkan agama saya meskipun organisasi tersebut terkadang menggunakan kekerasan.
"Yang setuju hanya 7 persen, yang tidak setuju lebih dari 80 persen," terangnya.
Kemudian dikatakan Djayadi dari survei tersebut mayoritas masyarakat Indonesia tidak mendukung kekerasan ekstrem.
"Tetapi kalau kita rinci satu-satu, yang ada dibeberapa aspek angkanya cukup penting untuk dilihat. Sekitar 36 persen mendukung ikut berperang ke negara lain ketika agamanya diserang," jelasnya.
Menurut Djayadi sekitar 4 dari 10 orang setuju/sangat setuju ikut berperang di negara lain untuk membela umat agamanya yang dianiaya.
"Itu yang paling tinggi, yang lain di bawah 20 persen. Kalau kita gabungkan empat pertanyaan tersebut maka dukungan terhadap kekerasan ekstrem yang diukur dengan skala satu sampai lima tersebut. Hasilnya menunjukkan rata-rata berada di bawah 2,39 persen," tutupnya.