Jokowi Disebut Cawe-cawe Pilpres 2024, PDIP: Presiden Tahu Batasan Demokrasi
Pernyataan ini disampaikan Said seusai Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menyentil Presiden Jokowi ikut cawe-cawe Pilpres 2024.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah membantah soal Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap cawe-cawe atau ikut mencampuri urusan Pilpres 2024.
Pernyataan itu disampaikan Said seusai Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menyentil Presiden Jokowi ikut cawe-cawe Pilpres 2024.
Said mengatakan Presiden Jokowi tak mungkin melecehkan kedaulatan partai dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden.
"Setiap partai memiliki kedaulatannya masing-masing dalam menentukan siapa calon presiden dan wakil presidennya," kata Said kepada wartawan, Minggu (7/5/2023).
Dia menegaskan pertemuan Presiden Jokowi dengan enam ketua umum partai politik (parpol) pendukung pemerintah di Istana Merdeka beberapa hari lalu sangatlah pantas.
"Mengingat para ketua umum partai-partai tersebut saat ini menopang dan bekerja sama dengan Pemerintahan Presiden Jokowi dan K. H. Ma’ruf Amin," ujar Said.
Baca juga: Pujian Anies Baswedan ke Jokowi Soal Pembangunan Tol dan Isi Pidato Politiknya di Hadapan Relawan
Said menyebut tak ada salahnya ketika para ketua umum parpol tersebut bertemu Jokowi agar program-program pemerintah saat ini dilanjutkan pada periode yang akan datang.
"Mendiskusikan hal tersebut dengan Presiden Jokowi salahnya di mana?" ungkapnya.
Dia meyakini Presiden Jokowi menghargai sikap politik Ketua Umum Partai NasDem mendukung Anies Baswedan sebagai capres.
"Tidak ada kalimat Presiden Jokowi melarang langkah politik NasDem. Sebab Presiden Jokowi tahu batasan demokrasi, bahwa hak dan kewenangan partai politik mencalonkan calon presiden dan wakil presidennya masing-masing," ucap Said.
Karenanya, Said meminta Denny agar tak melempar kesalahan ke orang lain bila capres yang didukungnya elektabilitas tidak cukup laku.
"Jangan biasakan melempar salah ke orang lain. Kelas profesor tetapi adab politiknya menuduh sana sini sungguh cermin buruk rupa," imbuhnya.
Denny sebelumnya menanggapi pernyataan Jokowi yang mengakui dirinya merupakan seorang pejabat publik sekaligus pejabat politik.
Denny mengatakan setiap orang tentu dijamin hak dan kebebasannya untuk berpolitik.
"Namun demikian, tetap ada etika dan hukum yang berbeda ketika mengatur berpolitik untuk orang pribadi dibandingkan berpolitik sebagai pejabat publik, termasuk seorang presiden," kata Denny dalam keterangan pers tertulis pada Minggu (7/5/2023).
Denny menambahkan ada perbedaan prinsipil antara politik institusional Jokowi sebagai presiden dengan politik personal sebagai pribadi.
Terkait hal tersebut, menurutnya, ada dua aspek yang membedakan yakni kepentingan yang diperjuangkan dan fasilitas yang digunakan.
Denny menjelaskan dari sisi kepentingan, sebagai pejabat publik, politik presiden adalah untuk kepentingan publik.
"Politik institusional presiden, adalah politik kebangsaan. Politik yang didedikasikan hanya untuk Republik Indonesia. Politik untuk seluruh rakyat, tanpa kecuali, tanpa membedakan, tanpa diskriminasi," jelasnya.
Denny mengungkapkan politik institusional presiden tidak boleh partisan.
"Artinya, presiden tidak boleh berpolitik untuk tujuan sekelompok masyarakat ataupun partai politik pendukungnya saja," ucapnya.
"Sebagai Presiden, Jokowi tidak boleh partisan. Tetapi sebagai pribadi Joko Widodo berhak menjadi kader salah satu partai, dalam hal ini PDI Perjuangan," tuturnya.
Demikian juga dalam hal mendukung capres jagoannya. Kata Denny, sebagai presiden, Jokowi tidak boleh mendukung salah satu bakal calon presiden.
Tetapi sebagai pribadi, kata dia, Jokowi boleh punya sokongan kepada salah satu kandidat, atau pada saatnya nanti bahkan berkampanye bagi salah satu calon presiden tersebut.
"Tentu, jika Joko Widodo akan kampanye untuk capres Ganjar Pranowo, misalnya, maka ia harus cuti sebagai presiden. Demikian aturan UU Pemilu secara tegas mengatur, untuk memastikan presiden tidak menggunakan fasilitas dan jabatan publiknya sebagai presiden untuk kepentingan politik diri-pribadi," katanya.
Sementara dari sisi fasilitas, Denny menjelaskan Presiden Jokowi berhak menggunakan protokoler dan fasilitas negara untuk kepentingan politik kebangsaan.
"Sebaliknya, untuk kepentingan politik partisan diri-pribadi, Jokowi harus menggunakan fasilitas diri-sendiri," ucapnya.
Oleh karena itu, Denny menegaskan bahwa Istana Negara tidak boleh digunakan untuk membahas strategi pemenangan koalisi pemilihan umum termasuk Pilpres 2024.
"Karena agenda politik demikian, bukanlah agenda kebangsaan, tetapi agenda politik partisan," jelasnya.